Nasionalisme Indonesia
TANTANGAN BUDAYA NASIONAL
DI ERA GLOBALISASI
Akhmad Hasani
Cultures are potential element which is able
to support national strength in a nation. Thus, they have to be managed so that
they will give maximal benefits for both the people and the state. In this
globalization era, state must anticipate the world actions especially on
increasing science and technology. Furthermore, sometimes globalization brings
negative impact. Thus, a nation should preserve its own culture. Moreover,
internet is one of science and technology product which is its usage can badly
affect the youth. It is because they are still hunger of information, trying to
search their lives meaning and identities. Besides, they are also still going
after aspirations for their future. Therefore, both the state and local
government joining with another various level of institutions should protect
national cultures in order not to be claimed by another country.
Pendahuluan
Bangsa
Indonesia adalah bangsa luas dan besar yang memiliki sekitar 17.000 buah
pulau-pulau besar dan pulau-pulau kecil dari Sabang di Sumatera sampai Merauke
di Papua. Bangsa Indonesia juga memiliki
sekitar 300 suku bangsa atau etnik dengan berbagai budaya dan adat istiadat
yang berbeda antara satu suku bangsa dengan suku bangsa lainnya.
Sungguh hal yang demikian adalah
merupakan suatu karunia Allah SWT yang tak terhingga nilainya. Sebagai bangsa
Indonesia kita harus bersyukur, karena hal tersebut merupakan suatu potensi dan
kekuatan yang luar biasa bilamana dikelola dengan baik dan maksimal untuk
kesejahteraan masyarakat bangsa Indonesia. Namun di sisi lain keanekaragaman
budaya dan suku bangsa dapat merupakan ancaman disintegrasi yang menakutkan,
bahkan akan menghancurkan bangsa ini bilamana keanekaragaman budaya dan adat istiadat
tersebut tidak dapat dikelola dengan baik dan benar. Konflik antar suku bangsa
seperti yang pernah terjadi di Ambon dan konflik suku Madura-Kalimantan yang
terjadi di Sampit sangat mungkin terjadi lagi. Bahkan konflik antar daerah juga
bisa terjadi seperti di Provinsi Sulawesi Barat. Ini disebabkan karena masih
ada sebagian masyarakat yang tidak menghendaki terjadinya pemisahan wilayah
yang semula hanya satu kabupaten kemudian menjadi kabupaten pemekaran yang
telah ditetapkan oleh pemerintah pusat dalam rangka percepatan pembangunan
ataupun pengembangan demokrasi.
Pada era globalisasi saat ini,
mengelola suatu bangsa yang luas dan besar seperti bangsa Indonesia tentu bukan
merupakan hal yang mudah. Tantangan globalisasi menjadi bagian dari tantangan
yang bersifat eksternal selain dari tantangan, bahkan ancaman yang berasal dari
keanekaragaman budaya dan suku bangsa yang bersifat internal. Perkembangan
teknologi informasi menjadi salah satu sebab semakin cepatnya terjadi perubahan
pada masyarakat suatu bangsa. Teknologi informasi menjadi terbuka dan bahkan
seolah-olah telah menjadi kebutuhan primer bagi masyarakat saat ini sehingga
masyarakat yang belum memiliki kemampuan teknologi informasi dinilai belum
mengikuti perkembangan globalisasi. Tentu globalisasi melalui teknologi
informasi tersebut juga memberikan hal-hal yang positif tetapi banyak juga ada
hal-hal yang negatif. Maka, masyarakat dan bahkan bangsa Indonesia harus mampu
melakukan filterisasi terhadap perkembangan teknologi informasi tersebut
sehingga tidak memberikan dampak negatif pada masyarakat. Misalnya, gambar-gambar
yang masuk dalam katagori pornografi yang gampang diakses menjadi ancaman
serius generasi muda.
Pada dasarnya, perkembangan
teknologi informasi (internet) ini dapat dimanfaatkan untuk media pengembangan
budaya nasional. Bangsa Indonesia memiliki kesempatan yang besar untuk
mempublikasikan atau bahkan mempromosikan semua budaya nasional Bangsa
Indonesia untuk kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat. Banyak hal yang dapat
dimanfaatkan melalui yang terkait dengan budaya nasional. Kita bersyukur karena
batik telah di tetapkan oleh UNESCO sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Sehingga
tanggal 2 Oktober telah ditetapkan sebagai “Hari Batik se-Dunia”. Kita harus
berbangga karena Indonesia di kenal sebagai negara batik yang juga sudah
menjadi bagian dan bahkan menjadi mata pencaharian masyarakat kita. Semoga keberhasilan ini dapat disusul dengan
budaya nasional bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Klaim Negeri Jiran Yang Serumpun
Telah beberapa kali negeri Jiran Malaysia membuat panas hati sebagian
besar masyarakat Indonesia. Negara yang mengusung slogan “Truly Asia” itu telah
berulang kali mengklaim kebudayaan Indonesia sebagai miliknya. Berikut sebagian
datanya :
1.
Agustus 2007
Malaysia mengklaim dan mempatenkan batik motif “Parang Rusak”, angklung,
wayang kulit hingga rendang. Sehingga
Sekjen Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Sapta Nirwandar menyatakan bahwa
pemerintah telah mendaftarkan batik dan angklung ke UNESCO, sebagai masterpiece world heritage. Langkah ini merupakan reaksi setelah munculnya
klaim tersebut.
2.
Oktober 2007
Lagu yang sangat mirip “Rasa Sayang” menjadi soundtrack iklan pariwisata Malaysia yang dicurigai diambil dari
lagu “Rasa Sayange”. Lagu ini pernah di-upload
di situs resmi pariwisata Malaysia, http://www.rasasayang.com.my
dan disiarkan oleh televisi-televisi di Malaysia. Klaim ini menuai kecaman
hebat dari masyarakat Indonesia hingga DPR. Tapi Malaysia sempat berdalih lagu
tersebut sudah terdengar di Kepulauan Nusantara sebelum lahirnya Indonesia. Sehingga
tak bisa diklaim sendiri oleh Indonesia. Demikian juga lagu “Indang Bariang”
yang merupakan lagu asal daerah Sumatera tersebut.
3.
21 November 2007
Para seniman Ponorogo kaget oleh munculnya Tari Barongan yang sangat
mirip Reog Ponorogo. Padahal Pemerintah Kabupaten Ponorogo telah mendaftarkan
Reog Ponorogo dan mendapatkan Hak Cipta No.026377 pada 11 Februari 2004. Oleh Malaysia, tarian ini diberi nama Tari
Barongan. Website Kementerian Kebudayaan, Kesenian dan Warisan Malaysia (http://heritage.gov.my) pernah memampangnya dan menyatakan tarian
itu warisan dari Batu Pahat, Johor dan
Selanggor Malaysia.
4.
25 November 2007
Pada acara “Kemilau Nusantara 2007” di Bandung, Wakil Duta Besar Malaysia
untuk Indonesia, Datuk Abdul Azis Harun, mengancam mengklaim Bahasa Indonesia
sebagai Bahasa Melayu. “Bahasa Melayu adalah Bahasa Malaysia,” katanya. Ancaman
tersebut akan dilaksanakan bila masyarakat dan Pemerintah Indonesia masih mempermasalahkan klaim Malaysia
terhadap lagu “Rasa Sayange” yang dibuat
di Malaysia pada tahun 1907 dan tari Barongan.
5.
Juni 2008
Staf Ahli Menko Kesra bidang Ekonomi Kerakyatan dan Informasi Malaysia,
Komet Mangiri mengatakan bahwa Indonesia kalah cepat dari Malaysia dalam
mematenkan batik. Tapi yang berhasil dipatenkan itu hanya motif Parang Rusak.
Adapun motif-motif lainnya berusaha diselamatkan dengan dipatenkan sejumlah
perancang dan Pemerintah Daerah ke Depkumham dan Pemerintah mematenkan ke
UNESCO.
6.
Maret 2009
Melihat perkembangan tersebut, Indonesia berupaya mematenkan batik, keris
dan wayang. “Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali” kata Kabag
Pembangunan Karakter dan Pekerti Bangsa Departemen Kebudayaan dan Pariwisata,
Edi Irawan.
7.
Agustus 2009
Tari Pendet menjadi iklan acara Discovery Channel bertajuk “Enigmatic
Malaysia”. Setelah dipersoalkan selama beberapa hari, Discovery Channel
akhirnya memunculkan iklan itu terhitung sejak senin 24 Agustus 2009.
Pemerintah Malaysia menyatakan tak pernah mengklaim Tari Pendet.[1]
Nota
protes dialamatkan kepada Menteri Kebudayaan, Kesenian dan Warisan Malaysia.
Isinya uraian kasus-kasus yang terjadi antara kedua negara sejak dua tahun
lalu, gara-gara klaim “Rasa Sayange”, “Indang Bariang”, “Reog Ponorogo”
tersebut membuat marak demontrasi anti Malaysia di Indonesia. Nota protes
dibahas pada sidang kabinet Malaysia, kata Jero Wacik Menteri Kebudayaan dan
Pariwisata Indonesia. Selanjutnya, dibuat kesepakatan bahwa jika ada karya
budaya yang berada dalam wilayah abu-abu (grey
area) dan hendak dijadikan iklan komersial, harus saling memberitahu. Bila
tidak ada pemberitahuan maka itu adalah pelanggaran etika.”[2]
Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono meminta Pemerintah Malaysia menghargai karya cipta dan
budaya Indonesia. “Saya berharap Pemerintah Malaysia menjaga sensitivitas
rakyat Indonesia, karena ini (kasus Tari Pendet) bukan yang pertama.” SBY
berharap Malaysia menjaga hubungan baik kedua negara, antara lain dengan
memberikan perhatian lebih besar dalam menjaga harga diri bangsa Indonesia.
Presiden SBY juga meminta Eminent Persons Group (EPG) difungsikan untuk
mencegah terulangnya kasus serupa. EPG yang dibentuk beberapa tahun lalu
bertujuan mengelola sengketa kedua bangsa, termasuk isu hak cipta, karya
budaya, karya peradaban dan lain-lain.[3]
Sebagaimana dikatakan Wakil Duta Besar
Malaysia untuk Indonesia, Datuk Abdul Azis Harun yang mengancam bahwa “Bahasa
Melayu adalah Bahasa Malaysia”, pemerintah Indonesia juga sempat berkilah. Pemerintah kita mengatakan bahwa bahasa
Melayu berasal dari Daerah Minangkabau Sumatera. Tetapi sebagaimana diketahui
bahwa negara Malaysia menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa
nasionalnya.
Unsur Kebudayaan
Kebudayaan
setiap masyarakat atau bangsa terdiri dari unsur-unsur besar maupun unsur-unsur
kecil yang merupakan bagian dari suatu kebulatan yang bersifat kesatuan. Misalnya dalam kebudayaan Indonesia
dapat dijumpai unsur besar seperti umpamanya Candi Borobudur dan Candi
Prambanan yang dibangun pada masa lalu.
Disamping itu, ada unsur-unsur kecil kebudayaan seperti sisir, kancing baju,
peniti dan lainnya yang dijual dipingir jalan yang terbuat dari kulit kerang
ataupun batok kelapa.
Menurut
Melville J. Herskovits menyebutkan empat unsur pokok kebudayaan, yaitu; (1) alat-alat
teknologi, (2) sistem ekonomi, (3) keluarga, dan (4) kekuasaan politik.[4]
Sedangkan menurut Bronislaw Malinowski yang terkenal sebagai seorang pelopor
teori fungsional dalam antropologi, menyebut unsur-unsur pokok kebudayaan
sebagai berikut; (1) sistem norma yang
memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat di dalam upaya menguasai
alam sekelilingnya, (2) organisasi ekonomi, (3) alat-alat dan lembaga atau
petugas pendidikan (keluarga diletakkan sebagai lembaga pendidikan utama), dan (4) organisasi kekuatan. [5]
Selanjutnya
menurut Kluckhohn dalam sebuah karyanya yang berjudul Universal Categories of
culture telah menguraikan unsur-unsur kebudayaan dari berbagai pendapat
para sarjana ke dalam tujuh unsur kebudayaan yang dianggap sebagai universal cultural yaitu; (1) peralatan dan perlengkapan hidup
manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat
produksi transport dan sebagainya), (2) mata pencaharian hidup dan sistem-sistem
ekonomi (pertanian, peternakan, sistem produksi, system distribusi dan
sebagainya), (3) sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik,
sistem hukum, sistem perkawinan), (4) bahasa (lisan maupun tertulis), (5) kesenian
(seni rupa, seni suara, seni gerak dan sebagainya), (6) sistem pengetahuan, dan
(7) religi (sistem kepercayaan)[6]
Ralph
Linton menjabarkan cultural universal
tersebut ke dalam kegiatan-kegiatan kebudayaan atau biasa disebut cultural activity. [7]
Sebagai contoh cultural universal
pencaharian hidup dan ekonomi, antara lain mencakup kegiatan-kegiatan seperti
pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem distribusi dan lain-lain.
Kesenian, misalnya, meliputi kegiatan-kegiatan seperti seni tari, seni rupa,
seni suara dan lain-lain.
Selanjutnya,
Ralph Linton merinci kegiatan-kegiatan kebudayaan tersebut menjadi unsur-unsur
yang lebih kecil lagi yang disebut trait-complex[8].
Misalnya kegiatan pertanian menetap meliputi unsur-unsur irigasi, sistem
mengolah tanah dengan bajak, sistem hak milik atas tanah dan lain sebagainya.
Selanjutnya trait-complex mengolah
tanah dengan bajak, akan dapat dipecah-pecah ke dalam unsur-unsur yang lebih
kecil lagi umpamanya hewan-hewan yang menarik bajak, teknik mengendalikan bajak
dan seterusnya. Akhirnya sebagai unsur kebudayaan terkecil yang membentuk traits adalah items. Apabila diambil
contoh alat bajak tersebut, maka bajak
tadi terdiri dari gabungan alat-alat atau bagian-bagian yang lebih kecil lagi
yang dapat dilepaskan. Akan tetapi pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan.
Apabila salah satu bagian bajak tersebut dihilangkan, maka bajak tidak dapat
melaksanakan fungsinya sebagai bajak.
Menurut
Bronislaw Malinowski yang selalu mencoba mencari fungsi atau kegunaan setiap
unsur kebudayaan, tak ada suatu unsur kebudayaan yang tidak mempunyai kegunaan
yang cocok dalam rangka kebudayaan sebagai keseluruhan. Apabila ada unsur kebudayaan yang kehilangan
kegunaannya, unsur tersebut akan hilang dengan sendirinya. Kebiasaan-kebiasaan
serta dorongan, tanggapan yang didapat dengan belajar serta dasar-dasar untuk
organisasi harus diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan pemuasan
kebutuhan-kebutuhan pokok manusia.
Dimana Nasionalisme?
Hari Sumpah Pemuda telah kita peringati pada tanggal 28 Oktober 2009 yang
lalu dan baru saja kita lanjutkan memperingati Hari Pahlawan pada tanggal 10
November 2009. Namun suasana peringatan ini sepi-sepi saja
bahkan tidak menjadi perhatian bagi pemerintah dan masyarakat. Justru yang
banyak menjadi perhatian adalah kasus “Cicak dan Buaya” yaitu kasus yang
melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bibit dan Chandra dengan lawannya
Pihak POLRI yang ternyata di sutradarai oleh “Mafia Hukum” Anggodo.
Dimana nasionalisme masyarakat saat
ini, terutama para generasi muda? Bahkan pada acara-acara di telivisi lebih
didominasi oleh acara-acara yang sifatnya hanya sekadar hiburan semata terutama
bagi generasi muda, dengan menyanyi sambil “berjingkrak-jingkrak” dan acara
hiburan berupa “tertawa-tawa“ dengan menampilkan kekonyolan dan kebodohan yang
luar biasa?
Bung Karno pada tahun 1958 pernah
mengatakan “Hai pemuda dan pemudi, engkau pembina hari kemudian. Orang
mengatakan bahwa engkau itu adalah pupuk hari kemudian. Jangan terima! Kita ini
bukan sekadar pupuk. Kami lebih dari pupuk. Di dalam jiwa kami tumbuh pula
masyarakat yang baru itu. Dan, dalam jiwa kami tumbuh segala apa yang menjadi
cita-cita bangsa kami.”[9]
Selanjutnya
M. Ali (2004) mengatakan, nasionalime bila ditelaah dalam konteks historis,
telah menjadi ideologi yang mempengaruhi kehidupan publik, bahkan pribadi
manusia yang majemuk. Disadari atau tidak, ideologi nasionalislah yang telah mengubah tatanan dunia sekarang
ini. Sejak sekitar abad ke 17, mulai dari Inggris, Perancis, Jerman, Rusia dan
Amerika Serikat serta hampir seluruh penduduk dunia menjadikan nasionalisme
sebagai kekuatan ideologinya.[10]
Nasionalisme Indonesia juga telah
meruntuhkan klaim-klaim dinasti lokal dan regional serta komunikas-komunitas
berdasarkan agama, suku dan identitas lainnya menjadi satu kekuatan yakni
Sumpah Pemuda, “Kami Pemuda dan Pemudi Indonesia Berbangsa Satu Bangsa
Indonesia, Kami Pemuda dan Pemudi Indonesia Bertanah Air Satu Tanah Air
Indonesia dan Kami Pemuda dan Pemudi Indonesia Berbahasa Satu Bahasa Indonesia”.
Nasionalisme Indonesia menjadi kekuatan perjuangan bangsa.
Namun saat ini, nasionalisme hanya
menjadi tema-tema dalam diskusi, seminar, talk
show dan forum lainnya. Nasionalisme mati suri. Dengan kata lain,
nasionalisme tidak lagi berpihak pada rakyat bahkan bangsa Indonesia, tetapi
nasionalisme menjadi slogan kaum elite hanya untuk kepentingan pribadi dan
kelompok atas nama demokrasi. Para politikus bicara nasionalisme hanya untuk
menaikan posisinya dalam lingkungan publik, hanya menarik simpati masyarakat
yang hanya demi kepentingan sesaatnya atau bahkan untuk mengelabui masyarakat
kecil.
Rasa kebersamaan atau yang biasa
disebut solidaritas merupakan suatu wujud nasionalisme yang penting dan harus
ditumbuhkan saat ini. Rasa kebersamaan dapat memberikan semangat atau spirit
yang tangguh bagi masyarakat dan negara untuk terus membangun dan memajukan
bangsa termasuk budaya nasional. Hal ini dapat kita cermati seperti pada saat
terjadinya klaim budaya-budaya nasional Indonesia oleh negeri jiran Malaysia. Pada
saat itu secara spontan masyarakat Indonesia muncul rasa kebersamaan atau
solidaritasnya untuk maju untuk membela hak-hak bangsa Indonesia.
Rasa kebersamaan ini semestinya
harus dapat dirasakan pada setiap saat dan dimana saja. Sehingga rasa
nasionalisme atau cinta tanah air dapat kita wujudkan dan dapat masyarakat
nikmati secara merata. Rasa kebersamaan ini tidak hanya muncul saat terjadi
bencana-bencana alam, keamanan negara diganggu oleh negara lain, warga negara
kita disiksa oleh warga negara negara lain, tetapi mestinya muncul pada setiap
saat dan tempat. Sehingga masyarakat menjadi aman dan tentram karena pejabat
politik memiliki rasa solidaritas yang tinggi untuk membela rakyat agar menjadi
maju dan hidup bahagia. Pejabat politik juga memiliki rasa kebersamaan dalam
menanggulangi kemiskinan, pengangguran dan
kebodohan yang masih banyak dirasakan oleh rakyat Indonesia walaupun
kita sudah merdeka selama 64 tahun.
Tantangan Globalisasi
Hans
J. Morgenthau mengatakan bahwa untuk menjadi sebuah negara yang kuat maka ada
beberapa hal-hal yang harus menjadi perhatian yang disebutnya sebagai
unsur-unsur kekuatan nasional. Kekuatan nasional adalah kesatuan yang terdiri
dari keseluruhan atau gabungan beberapa aspek atau unsur yang terdapat pada
suatu negara dan dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan luar negeri.
Kekuatan nasional sangat menentukan
peranan negara dalam perkembangan dunia internasional. Namun demikian tidak
berarti bahwa suatu negara harus memiliki secara mutlak keseluruhan dari
unsur-unsur kekuatan nasional tersebut. Selain dari unsur-unsur kekuatan
nasional yang dimiliki oleh suatu
negara, maka faktor lain yang sangat mempengaruhi kekuatan nasional yang
berkaitan dengan unsur-unsur kekuatan nasional tersebut adalah bagaimana suatu
negara mampu mengelola dan memanfaatkan dari unsur-unsur kekuatan nasional
tersebut. Sehingga suatu negara dapat turut berperan dalam percaturan dunia
internasional.
Sebagai
contoh ada negara-negara yang kecil dan tidak memiliki banyak unsur-unsur
kekuatan nasional, tetapi negara tersebut mampu berperan aktif dan terlibat
dalam perkembangan percaturan dunia internasional. Seperti Jepang dan Israel.
Sementara ada negara-negara yang besar dan memiliki unsur-unsur kekuatan
nasional yang banyak tetapi belum mampu berperan aktif dan mempengaruhi
kebijakan dunia internasional, negara-negara ini seperti India dan Indonesia.
Dua dari sembilan unsur kekuatan
nasional yang terkait dengan budaya nasional yang dimaksud Morgenthau yaitu :
1.
Karakter Nasional (ciri khas budaya)
Karakter nasional menyangkut tentang faktor manusia
(masyarakat) dan aspek kualitas yaitu sifat moral serta intelektualisme yang
fundamental yang merupakan ciri-ciri khas suatu bangsa. Dari situ, kita secara awam mengatakan sebagai watak,
karakter atau sifat suatu bangsa. Maka dari itu dikenal ada bangsa yang dinilai
keras seperti negara-negara Islam dan negara lemah seperti negara-negara di Asia.
Berbagai suku bangsa yang ada dalam suatu negara
dengan berbagai karakter budaya yang telah dibentuk oleh zaman dan kondisi
dapat memberikan suatu bentuk karakter
nasional tersendiri terhadap suatu negara dan akan menjadi potensi dan
kekuatan suatu negara. Bangsa Indonesia yang memiliki kerajaan yang megah dan
berjaya pada masa Sriwijaya dan Majapahit mestinya saat ini dapat menjadi
negara dan bangsa yang kuat dan gagah perkasa.
2.
Semangat Nasional
Semangat nasional adalah tingkat ketahanan dan
ketangguhan suatu bangsa terhadap dukungan pelaksanaan politik luar negeri dan
politik internasional serta kebijakan pemerintah yang akan dilaksanakan.
Semangat nasional menyangkut tentang partisipasi
semua rakyat terhadap kebijakan pemerintah. Semangat nasional juga dipengaruhi
oleh kualitas rakyat dan pemerintahan dalam membangkitkan dukungan partisipasi
rakyat.
Contoh yang mendekati maksud ini adalah semangat
nasional negara Jepang dan Iran. Bangsa Indonesia mestinya dapat menjadikan
rasa patriotisme/nasionalisme sebagai semangat terhadap pembangunan bangsa
dalam semua aspek kehidupan, mulai dari semangat pendidikan, semangat
pengembangan ekonomi nasional, semangat pengembangan teknologi dan sebagainya
sehingga semangat nasionalisme ini menjadi dasar semua nafas dan gerak
masyarakat Indonesia tidak ada yang menyimpang dari semangat nasionalisme
Indonesia. Serta tidak dipengaruhi oleh westernisasi
dan lainnya.
Berdasarkan pandangan Morgenthau tersebut, maka Bangsa Indonesia harus
siap menghadapi perkembangan era globalisasi yang berkembang sangat cepat
terutama dengan semakin berkembangnya teknologi informasi. Budaya nasional
Indonesia mestinya dapat menjadi suatu kekuatan nasional yang membanggakan dan
dapat memberikan manfaat kepada masyarakat. Budaya nasional tidak hanya sekedar
potensi yang dibangga-banggakan saja, hanya tercatat dalam tujuh keajaiban
dunia atau menjadi logo atau simbol-simbol daerah saja tetapi dapat lebih
dikelola menjadi aset yang bernilai ekonomi dan dapat mendatangkan income bagi negara dan masyarakat lokal.
Globalisasi merupakan media yang dapat difungsikan oleh Bangsa Indonesia
untuk mengelola budaya nasional menjadi go
internasional. Sehingga masyarakat dunia mengetahui bahwa Indonesia itu
luas dan budayanya beranekaragam. Indonesia tidak hanya pulau Bali, tetapi
Indonesia ada Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Papua dan lainnya. Film “Love,
eat and pray” yang sebagian ceritanya di
Bali menjadi media promosi budaya nasional pada dunia internasional bagi
Indonesia, walaupun Bali sudah menjadi trade
mark pariwisata Indonesia.
Berdasarkan konsep tersebut juga
bahwa kekuatan nasional suatu bangsa tidak hanya terletak pada kekuatan militer
saja. Tetapi dengan berakhirnya era perang dingin, maka kekuatan nasional suatu
bangsa juga terletak pada kekuatan ekonomi yang dapat dicapai dengan cara
mengelola dan memanfaatkan sebaik-baiknya budaya nasional. Walaupun kita juga
mengetahui bahwa tantangan budaya Barat atau westernisasi juga dirasakan begitu kuat pengaruhnya pada bangsa
Indonesia saat ini. Dengan ditetapkannya Batik sebagai bagian dari kebudayaan
oleh UNESCO, maka pada dasarnya bangsa Indonesia mempunyai peluang yang sangat
besar untuk terus mengembangkan budaya-budaya nasional yang lain dari berbagai
daerah untuk menjadi bagian dari kebudayaan dunia.
Bagaimana Peran Pemerintah dan Masyarakat?
Presiden
SBY telah meminta para menteri dan kepala daerah mempercepat inventarisasi karya anak bangsa
untuk segera dipatenkan HAKI-nya. Para pengrajin di berbagai daerah, Presiden
meminta memasukan nama daerah dan Indonesia pada karyanya dan para pejabat
mempermudah prosesnya. Kita harus open,
peduli mencantumkan sebagai karya kita.”[11]
Pernyataan
tersebut disampaikan SBY pada saat munculnya Iklan Tari Pendet pada acara Discovery Channel bertajuk “Enigmatic
Malaysia” di bulan Agustus 2009 dan semoga pernyataan Presiden SBY tentang
budaya nasional tidak hanya pada saat terjadinya klaim-klaim budaya dari negara
lain.
Ada
bebarapa hal penting yang harus menjadi perhatian pemerintah (pusat dan daerah),
termasuk juga masyarakat secara umum dalam upaya pelestarian budaya nasional
pada saat era globalisasi ini antara lain yaitu :
1.
Perlunya evaluasi pada peran dan fungsi Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata pada Era Kabinet Indonesia Bersatu I dan II. Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata harus lebih berperan sebagai lembaga yang bisa
“menjual” dan “mendatangkan” keuntungan bagi negara dengan mengembangkan dan
melestarikannya. Kalaupun budaya nasional tersebut ditata sedemikian rupa,
hanyalah dalam rangka untuk memperoleh income
dari negara-negara luar. Bukan income
sebagai efek atau manfaat dari upaya pelestarian dan pengembangan budaya
nasional itu sendiri. Kata pariwisata menjadi kata yang bermakna “dijual” agar
memperoleh income sebanyak-banyaknya
bahkan kalau boleh semua unsur budaya nasional harus bisa mendatangkan income bagi negara. Semestinya yang menjadi
prioritas negara adalah melakukan
upaya-upaya pelestarian dan pengembangan budaya-budaya nasional dengan
sebaik-baiknya. Sehingga menjadi lestari, menarik dan disenangi orang yang
selanjutnya akan menjadi “pemancing”
bagi masyarakat dan turis asing untuk melihat dan menikmati keindahaannya,
barulah income terjadi. Jangan dibalik bahwa untuk memperleh income maka pariwisata harus ditata dan
dikembangkan. Ini berarti niatnya kurang tepat. Yang benar adalah mari kita
tata dan kembangkan budaya nasional dengan baik, dengan sendirinya income akan datang.
Sebagai contoh di kota-kota besar telah banyak cagar budaya yang tidak
dirawat dengan baik dengan alasan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah
tidak memiliki dana. Akhirnya lokasi-lokasi tersebut diubah bahkan diganti
dengan bangunan mall atau pusat
perbelanjaan. Ini artinya pemerintah tidak memiliki niat yang besar untuk melestarikan
budaya nasional. Oleh karena itu, penulis lebih setuju bila kebudayaan menjadi
satu departemen dengan pendidikan, karena dalam “kebudayaan” ada unsur pendidikan bahkan dapat menjadi media yang harus
dilestarikan oleh generasi muda sebagai penerus bangsa sejak sekolah dasar
sampai perguruan tinggi, bukan malah kebudayaan hanya “dikomersilkan” saja
seperti yang terjadi saat ini.
2.
Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah harus
memperhatikan upaya pelastarian budaya nasional. Pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah tidak boleh hanya memprioritaskan pada bidang politik dan
ekonomi saja. Tetapi juga pada bidang budaya, karena budaya adalah bagian dari
kehidupan masyarakat karakter bangsa yang perlu memperoleh perhatian. Pemerintah
harus menyediakan kecukupan dana untuk pelestarian budaya walaupun pemerintah punya banyak utang. Bahkan pertanyaannya
adalah seberapa besar utang tersebut yang sudah digunakan untuk melestarikan
dan mengembangankan budaya nasional. Soal utang, kita bisa melihatnya pada
tabel di bawah ini’
Tabel 1. Hutang Pemerintah Indonesia Pada
Era SBY-JK[12]
No
|
Tahun
|
Besaran Hutang Luar Negeri
|
1
|
Awal
2004
|
Rp.1.299
Trilliun ($ 139,9 Milliar AS)
|
2
|
2006
|
$
33,34 Milliar AS
|
3
|
2007
|
$
39,44 Milliar AS
|
4
|
2008
|
$
55,56 Millar AS
|
5
|
2009
|
$
57,6 Milliar AS
|
Total
utang Luar Negeri
|
Rp.1.700
Trilliun
|
Maka, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah perlu bekerjasama dengan
pihak swasta terutama perusahaan besar untuk menjadi binaan dan tanggung jawab
agar budaya nasional dapat dilestarikan dan dikembangkan.
3. Generasi
muda bangsa Indonesia harus mempunyai rasa kebanggan terhadap budaya nasional.
Generasi muda harus bisa menampilkan budaya nasional pada setiap moment, bukan
sebaliknya menjadi generasi muda yang tidak jelas identitasnya bahkan banyak
yang mengikuti budaya-budaya asing supaya dikatakan gaul, termasuk korban
globalisasi. Era globalisasi yang didukung dengan teknologi internet mestinya
dimanfaatkan sebagai media pelestarian budaya nasional dengan cara
mempublikasikan atau bahkan “mendokumentasikan” pada dunia tentang
keanekaragaman budaya nasional bangsa Indonesia. Sehingga, masyarakat dari
bangsa lain dapat membaca, mengetahui dan mengenal budaya-budaya nasional
Indonesia. Jangan sebaliknya, generasi muda Indonesia justru menjadi korban
dari negara-negara maju akibat publikasi budaya yang menyebar bahkan dapat
“meracuni” generasi muda karena ketidakmampuan melakukan “filterisasi” berbagai
“budaya” negara maju tersebut.
4. Budaya
nasional yang terdapat pada masing-masing pemerintah daerah yang merupakan ciri
khas daerah seharusnya wajib dipatenkan oleh pemerintah daerah. Sehingga tidak
dibebankan pada masyarakat dan menjadi milik pemerintah daerah atas nama
masyarakat, karena budaya nasional tidak boleh dimiliki hak patennya oleh satu
orang saja tapi milik semua masyarakat yang ada di daerah tersebut. Seperti
Tari Reog harus dipatenkan oleh pemerintah daerah Ponorogo dan menjadi milik
masyarakat Ponorogo dan Tari Pendet harus dipatenkan oleh pemerintah daerah
Bali atas nama masyarakat Bali. Budaya nasional yang terkait dengan Suku Dayak
di Kalimantan dapat menjadi masalah bilamana tidak segera diperhatikan, karena
di Malaysia juga terdapat Suku Dayak yang berbatasan dengan Kalimantan Timur
dan wilayah Sabah Malaysia Timur dan Kalimantan Barat yang berbatasan langsung
dengan wilayah Serawak Malaysia Timur. Paling tidak pemerintah daerah
menjadikan budaya nasional sebagai bagian dari kegiatan-kegiatan pemerintah
daerah pada hari-hari tertentu sebagai suatu upaya pelestarian budaya Dayak di
Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Demikian juga budaya Melayu yang
terdapat di Riau, Pekan Baru yang sangat mirip dengan budaya Melayu yang
berbatasan dengan Johor dan Pulau Pinang Malaysia Barat. Festival-festival
budaya perlu dilaksanakan dalam rangka melestarikan budaya nasional tersebut
sehingga tidak lagi di klaim sebagai budaya Malaysia saja.
Budaya Nasional merupakan aset Bangsa Indonesia yang harus memperoleh
perhatian terutama di era Globalisasi saat ini. Budaya nasional menjadi bagian
penting negara Indonesia yang dapat dikembangankan dan dikelola sebaik-baiknya.
Itu penting agar dapat berfungsi lebih luas tidak hanya sekadar warisan ataupun
adat istiadat masyarakat Indonesia yang dirayakan ataupun dilaksanakan pada
saat peringatan hari Sumpah Pemuda atau hari Pahlawan saja. Budaya nasional
harus menjadi bagian dari aset Bangsa Indonesia yang dapat mendatangkan
pendapatan bagi masyarakat dan negara. Tentunya perlu ada suatu kesadaran
secara nasional dan dilaksanakan oleh seluruh masyarakat Indonesia pada semua
aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Daftar Pustaka
Abdulsyani. Sosiologi: Skematika, Teori dan Terapan.
Jakarta: Bumi Aksara. 2007.
“Arti Rp.1.700 Trilliun
Utang Indonesia “ dalam http://beritasore.com/2009/06/22,
diaksesl 1 Agustus 2009 jam 15.30 WIB.
Muhammadun AS. “ Membangun Kembali Nasionalisme Kaum Muda”,
Republika,
28 Oktober 2009.
Manfred B, Steger. Globalisme:
Bangkitnya Ideologi Pasar. Yogyakarta: Lafadf. 2006
Republika. “Jiran yang Suka Mengklaim”. 25 Agustus 2009,
Republika. “RI Protes Malaysia”. 25 Agustus 2009,
Republika. “Malaysia
Cabut Iklan Tari Pendet”. 26 Agustus 2009.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi
Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2003.
[1]
Republika, 25 Agustus 2009.
[2]
Ibid.
[4] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 175.
[5]
Ibid., hal. 176.
[6]
Ibid.
[7]
Ibid.
[8]
Ibid, hal. 177.
[9]
Muhammadun AS, “Membangun Kembali Nasionalisme Kaum Muda”, Republika, 28 Oktober 2009.
[10]
Ibid.
[11]
Republika, 26 Agustus 2009.
0 komentar:
Posting Komentar