Nasionalisme Indonesia

13.53 xanny 0 Comments



TANTANGAN BUDAYA NASIONAL
DI ERA GLOBALISASI

Akhmad Hasani


Cultures are potential element which is able to support national strength in a nation. Thus, they have to be managed so that they will give maximal benefits for both the people and the state. In this globalization era, state must anticipate the world actions especially on increasing science and technology. Furthermore, sometimes globalization brings negative impact. Thus, a nation should preserve its own culture. Moreover, internet is one of science and technology product which is its usage can badly affect the youth. It is because they are still hunger of information, trying to search their lives meaning and identities. Besides, they are also still going after aspirations for their future. Therefore, both the state and local government joining with another various level of institutions should protect national cultures in order not to be claimed by another country.  


Pendahuluan 

Bangsa Indonesia adalah bangsa luas dan besar yang memiliki sekitar 17.000 buah pulau-pulau besar dan pulau-pulau kecil dari Sabang di Sumatera sampai Merauke di Papua. Bangsa Indonesia juga  memiliki sekitar 300 suku bangsa atau etnik dengan berbagai budaya dan adat istiadat yang berbeda antara satu suku bangsa dengan suku bangsa lainnya.
            Sungguh hal yang demikian adalah merupakan suatu karunia Allah SWT yang tak terhingga nilainya. Sebagai bangsa Indonesia kita harus bersyukur, karena hal tersebut merupakan suatu potensi dan kekuatan yang luar biasa bilamana dikelola dengan baik dan maksimal untuk kesejahteraan masyarakat bangsa Indonesia. Namun di sisi lain keanekaragaman budaya dan suku bangsa dapat merupakan ancaman disintegrasi yang menakutkan, bahkan akan menghancurkan bangsa ini bilamana keanekaragaman budaya dan adat istiadat tersebut tidak dapat dikelola dengan baik dan benar. Konflik antar suku bangsa seperti yang pernah terjadi di Ambon dan konflik suku Madura-Kalimantan yang terjadi di Sampit sangat mungkin terjadi lagi. Bahkan konflik antar daerah juga bisa terjadi seperti di Provinsi Sulawesi Barat. Ini disebabkan karena masih ada sebagian masyarakat yang tidak menghendaki terjadinya pemisahan wilayah yang semula hanya satu kabupaten kemudian menjadi kabupaten pemekaran yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat dalam rangka percepatan pembangunan ataupun pengembangan demokrasi. 
            Pada era globalisasi saat ini, mengelola suatu bangsa yang luas dan besar seperti bangsa Indonesia tentu bukan merupakan hal yang mudah. Tantangan globalisasi menjadi bagian dari tantangan yang bersifat eksternal selain dari tantangan, bahkan ancaman yang berasal dari keanekaragaman budaya dan suku bangsa yang bersifat internal. Perkembangan teknologi informasi menjadi salah satu sebab semakin cepatnya terjadi perubahan pada masyarakat suatu bangsa. Teknologi informasi menjadi terbuka dan bahkan seolah-olah telah menjadi kebutuhan primer bagi masyarakat saat ini sehingga masyarakat yang belum memiliki kemampuan teknologi informasi dinilai belum mengikuti perkembangan globalisasi. Tentu globalisasi melalui teknologi informasi tersebut juga memberikan hal-hal yang positif tetapi banyak juga ada hal-hal yang negatif. Maka, masyarakat dan bahkan bangsa Indonesia harus mampu melakukan filterisasi terhadap perkembangan teknologi informasi tersebut sehingga tidak memberikan dampak negatif pada masyarakat. Misalnya, gambar-gambar yang masuk dalam katagori pornografi yang gampang diakses menjadi ancaman serius generasi muda. 
            Pada dasarnya, perkembangan teknologi informasi (internet) ini dapat dimanfaatkan untuk media pengembangan budaya nasional. Bangsa Indonesia memiliki kesempatan yang besar untuk mempublikasikan atau bahkan mempromosikan semua budaya nasional Bangsa Indonesia untuk kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat. Banyak hal yang dapat dimanfaatkan melalui yang terkait dengan budaya nasional. Kita bersyukur karena batik telah di tetapkan oleh UNESCO sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Sehingga tanggal 2 Oktober telah ditetapkan sebagai “Hari Batik se-Dunia”. Kita harus berbangga karena Indonesia di kenal sebagai negara batik yang juga sudah menjadi bagian dan bahkan menjadi mata pencaharian masyarakat kita.  Semoga keberhasilan ini dapat disusul dengan budaya nasional bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke.

Klaim Negeri Jiran Yang Serumpun 

Telah beberapa kali negeri Jiran Malaysia membuat panas hati sebagian besar masyarakat Indonesia. Negara yang mengusung slogan “Truly Asia” itu telah berulang kali mengklaim kebudayaan Indonesia sebagai miliknya. Berikut sebagian datanya :
1.      Agustus 2007
Malaysia mengklaim dan mempatenkan batik motif “Parang Rusak”, angklung, wayang kulit hingga rendang.  Sehingga Sekjen Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Sapta Nirwandar menyatakan bahwa pemerintah telah mendaftarkan batik dan angklung ke UNESCO, sebagai masterpiece world heritage.  Langkah ini merupakan reaksi setelah munculnya klaim tersebut.
2.      Oktober 2007
Lagu yang sangat mirip “Rasa Sayang” menjadi soundtrack iklan pariwisata Malaysia yang dicurigai diambil dari lagu “Rasa Sayange”. Lagu ini pernah di-upload di situs resmi pariwisata Malaysia, http://www.rasasayang.com.my dan disiarkan oleh televisi-televisi di Malaysia. Klaim ini menuai kecaman hebat dari masyarakat Indonesia hingga DPR. Tapi Malaysia sempat berdalih lagu tersebut sudah terdengar di Kepulauan Nusantara sebelum lahirnya Indonesia. Sehingga tak bisa diklaim sendiri oleh Indonesia. Demikian juga lagu “Indang Bariang” yang merupakan lagu asal daerah Sumatera tersebut.
3.      21 November 2007
Para seniman Ponorogo kaget oleh munculnya Tari Barongan yang sangat mirip Reog Ponorogo. Padahal Pemerintah Kabupaten Ponorogo telah mendaftarkan Reog Ponorogo dan mendapatkan Hak Cipta No.026377 pada 11 Februari 2004.  Oleh Malaysia, tarian ini diberi nama Tari Barongan. Website Kementerian Kebudayaan, Kesenian dan Warisan Malaysia (http://heritage.gov.my)  pernah memampangnya dan menyatakan tarian itu  warisan dari Batu Pahat, Johor dan Selanggor Malaysia.
4.      25 November 2007
Pada acara “Kemilau Nusantara 2007” di Bandung, Wakil Duta Besar Malaysia untuk Indonesia, Datuk Abdul Azis Harun, mengancam mengklaim Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Melayu. “Bahasa Melayu adalah Bahasa Malaysia,” katanya. Ancaman tersebut akan dilaksanakan bila masyarakat dan Pemerintah Indonesia  masih mempermasalahkan klaim Malaysia terhadap lagu “Rasa Sayange”  yang dibuat di Malaysia pada tahun 1907 dan tari Barongan.
5.      Juni 2008
Staf Ahli Menko Kesra bidang Ekonomi Kerakyatan dan Informasi Malaysia, Komet Mangiri mengatakan bahwa Indonesia kalah cepat dari Malaysia dalam mematenkan batik. Tapi yang berhasil dipatenkan itu hanya motif Parang Rusak. Adapun motif-motif lainnya berusaha diselamatkan dengan dipatenkan sejumlah perancang dan Pemerintah Daerah ke Depkumham dan Pemerintah mematenkan ke UNESCO.
6.      Maret 2009
Melihat perkembangan tersebut, Indonesia berupaya mematenkan batik, keris dan wayang. “Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali” kata Kabag Pembangunan Karakter dan Pekerti Bangsa Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Edi Irawan.
7.      Agustus 2009
Tari Pendet menjadi iklan acara Discovery Channel bertajuk “Enigmatic Malaysia”. Setelah dipersoalkan selama beberapa hari, Discovery Channel akhirnya memunculkan iklan itu terhitung sejak senin 24 Agustus 2009. Pemerintah Malaysia menyatakan tak pernah mengklaim Tari Pendet.[1]
Nota protes dialamatkan kepada Menteri Kebudayaan, Kesenian dan Warisan Malaysia. Isinya uraian kasus-kasus yang terjadi antara kedua negara sejak dua tahun lalu, gara-gara klaim “Rasa Sayange”, “Indang Bariang”, “Reog Ponorogo” tersebut membuat marak demontrasi anti Malaysia di Indonesia. Nota protes dibahas pada sidang kabinet Malaysia, kata Jero Wacik Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia. Selanjutnya, dibuat kesepakatan bahwa jika ada karya budaya yang berada dalam wilayah abu-abu (grey area) dan hendak dijadikan iklan komersial, harus saling memberitahu. Bila tidak ada pemberitahuan maka itu adalah pelanggaran etika.”[2]
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta Pemerintah Malaysia menghargai karya cipta dan budaya Indonesia. “Saya berharap Pemerintah Malaysia menjaga sensitivitas rakyat Indonesia, karena ini (kasus Tari Pendet) bukan yang pertama.” SBY berharap Malaysia menjaga hubungan baik kedua negara, antara lain dengan memberikan perhatian lebih besar dalam menjaga harga diri bangsa Indonesia. Presiden SBY juga meminta Eminent Persons Group (EPG) difungsikan untuk mencegah terulangnya kasus serupa. EPG yang dibentuk beberapa tahun lalu bertujuan mengelola sengketa kedua bangsa, termasuk isu hak cipta, karya budaya, karya peradaban dan lain-lain.[3]  
 Sebagaimana dikatakan Wakil Duta Besar Malaysia untuk Indonesia, Datuk Abdul Azis Harun yang mengancam bahwa “Bahasa Melayu adalah Bahasa Malaysia”, pemerintah Indonesia juga sempat berkilah.  Pemerintah kita mengatakan bahwa bahasa Melayu berasal dari Daerah Minangkabau Sumatera. Tetapi sebagaimana diketahui bahwa negara Malaysia menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa nasionalnya.  

Unsur Kebudayaan

Kebudayaan setiap masyarakat atau bangsa terdiri dari unsur-unsur besar maupun unsur-unsur kecil yang merupakan bagian dari suatu kebulatan yang bersifat  kesatuan. Misalnya dalam kebudayaan Indonesia dapat dijumpai unsur besar seperti umpamanya Candi Borobudur dan Candi Prambanan yang dibangun pada masa  lalu. Disamping itu, ada unsur-unsur kecil kebudayaan seperti sisir, kancing baju, peniti dan lainnya yang dijual dipingir jalan yang terbuat dari kulit kerang ataupun batok kelapa.
Menurut Melville J. Herskovits menyebutkan empat unsur pokok kebudayaan, yaitu; (1) alat-alat teknologi, (2) sistem ekonomi, (3) keluarga, dan (4) kekuasaan politik.[4] Sedangkan menurut Bronislaw Malinowski yang terkenal sebagai seorang pelopor teori fungsional dalam antropologi, menyebut unsur-unsur pokok kebudayaan sebagai berikut;  (1) sistem norma yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat di dalam upaya menguasai alam sekelilingnya, (2) organisasi ekonomi, (3) alat-alat dan lembaga atau petugas pendidikan (keluarga diletakkan sebagai lembaga pendidikan utama),  dan (4) organisasi kekuatan. [5]
Selanjutnya menurut Kluckhohn dalam sebuah karyanya yang berjudul Universal Categories of culture telah menguraikan unsur-unsur kebudayaan dari berbagai pendapat para sarjana ke dalam tujuh unsur kebudayaan yang dianggap sebagai universal cultural  yaitu; (1) peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi transport dan sebagainya), (2) mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem produksi, system distribusi dan sebagainya), (3) sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem perkawinan), (4) bahasa (lisan maupun tertulis), (5) kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak dan sebagainya), (6) sistem pengetahuan, dan (7) religi (sistem kepercayaan)[6]
Ralph Linton menjabarkan cultural universal tersebut ke dalam kegiatan-kegiatan kebudayaan atau biasa disebut cultural activity. [7] Sebagai contoh cultural universal pencaharian hidup dan ekonomi, antara lain mencakup kegiatan-kegiatan seperti pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem distribusi dan lain-lain. Kesenian, misalnya, meliputi kegiatan-kegiatan seperti seni tari, seni rupa, seni suara dan lain-lain.
Selanjutnya, Ralph Linton merinci kegiatan-kegiatan kebudayaan tersebut menjadi unsur-unsur yang lebih kecil lagi yang disebut trait-complex[8]. Misalnya kegiatan pertanian menetap meliputi unsur-unsur irigasi, sistem mengolah tanah dengan bajak, sistem hak milik atas tanah dan lain sebagainya. Selanjutnya trait-complex mengolah tanah dengan bajak, akan dapat dipecah-pecah ke dalam unsur-unsur yang lebih kecil lagi umpamanya hewan-hewan yang menarik bajak, teknik mengendalikan bajak dan seterusnya. Akhirnya sebagai unsur kebudayaan terkecil yang membentuk traits adalah items. Apabila diambil contoh  alat bajak tersebut, maka bajak tadi terdiri dari gabungan alat-alat atau bagian-bagian yang lebih kecil lagi yang dapat dilepaskan. Akan tetapi pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan. Apabila salah satu bagian bajak tersebut dihilangkan, maka bajak tidak dapat melaksanakan fungsinya sebagai bajak.
Menurut Bronislaw Malinowski yang selalu mencoba mencari fungsi atau kegunaan setiap unsur kebudayaan, tak ada suatu unsur kebudayaan yang tidak mempunyai kegunaan yang cocok dalam rangka kebudayaan sebagai keseluruhan.  Apabila ada unsur kebudayaan yang kehilangan kegunaannya, unsur tersebut akan hilang dengan sendirinya. Kebiasaan-kebiasaan serta dorongan, tanggapan yang didapat dengan belajar serta dasar-dasar untuk organisasi harus diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan pemuasan kebutuhan-kebutuhan pokok manusia.

Dimana Nasionalisme?

Hari Sumpah Pemuda telah kita peringati pada tanggal 28 Oktober 2009 yang lalu dan baru saja kita lanjutkan memperingati Hari Pahlawan pada tanggal 10 November  2009.  Namun suasana peringatan ini sepi-sepi saja bahkan tidak menjadi perhatian bagi pemerintah dan masyarakat. Justru yang banyak menjadi perhatian adalah kasus “Cicak dan Buaya” yaitu kasus yang melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bibit dan Chandra dengan lawannya Pihak POLRI yang ternyata di sutradarai oleh “Mafia Hukum” Anggodo.
            Dimana nasionalisme masyarakat saat ini, terutama para generasi muda? Bahkan pada acara-acara di telivisi lebih didominasi oleh acara-acara yang sifatnya hanya sekadar hiburan semata terutama bagi generasi muda, dengan menyanyi sambil “berjingkrak-jingkrak” dan acara hiburan berupa “tertawa-tawa“ dengan menampilkan kekonyolan dan kebodohan yang luar biasa?
            Bung Karno pada tahun 1958 pernah mengatakan “Hai pemuda dan pemudi, engkau pembina hari kemudian. Orang mengatakan bahwa engkau itu adalah pupuk hari kemudian. Jangan terima! Kita ini bukan sekadar pupuk. Kami lebih dari pupuk. Di dalam jiwa kami tumbuh pula masyarakat yang baru itu. Dan, dalam jiwa kami tumbuh segala apa yang menjadi cita-cita bangsa kami.”[9]
Selanjutnya M. Ali (2004) mengatakan, nasionalime bila ditelaah dalam konteks historis, telah menjadi ideologi yang mempengaruhi kehidupan publik, bahkan pribadi manusia yang majemuk. Disadari atau tidak, ideologi nasionalislah  yang telah mengubah tatanan dunia sekarang ini. Sejak sekitar abad ke 17, mulai dari Inggris, Perancis, Jerman, Rusia dan Amerika Serikat serta hampir seluruh penduduk dunia menjadikan nasionalisme sebagai kekuatan ideologinya.[10]
            Nasionalisme Indonesia juga telah meruntuhkan klaim-klaim dinasti lokal dan regional serta komunikas-komunitas berdasarkan agama, suku dan identitas lainnya menjadi satu kekuatan yakni Sumpah Pemuda, “Kami Pemuda dan Pemudi Indonesia Berbangsa Satu Bangsa Indonesia, Kami Pemuda dan Pemudi Indonesia Bertanah Air Satu Tanah Air Indonesia dan Kami Pemuda dan Pemudi Indonesia Berbahasa Satu Bahasa Indonesia”. Nasionalisme Indonesia menjadi kekuatan perjuangan bangsa.
            Namun saat ini, nasionalisme hanya menjadi tema-tema dalam diskusi, seminar, talk show dan forum lainnya. Nasionalisme mati suri. Dengan kata lain, nasionalisme tidak lagi berpihak pada rakyat bahkan bangsa Indonesia, tetapi nasionalisme menjadi slogan kaum elite hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompok atas nama demokrasi. Para politikus bicara nasionalisme hanya untuk menaikan posisinya dalam lingkungan publik, hanya menarik simpati masyarakat yang hanya demi kepentingan sesaatnya atau bahkan untuk mengelabui masyarakat kecil.
            Rasa kebersamaan atau yang biasa disebut solidaritas merupakan suatu wujud nasionalisme yang penting dan harus ditumbuhkan saat ini. Rasa kebersamaan dapat memberikan semangat atau spirit yang tangguh bagi masyarakat dan negara untuk terus membangun dan memajukan bangsa termasuk budaya nasional. Hal ini dapat kita cermati seperti pada saat terjadinya klaim budaya-budaya nasional Indonesia oleh negeri jiran Malaysia. Pada saat itu secara spontan masyarakat Indonesia muncul rasa kebersamaan atau solidaritasnya untuk maju untuk membela hak-hak bangsa Indonesia.
            Rasa kebersamaan ini semestinya harus dapat dirasakan pada setiap saat dan dimana saja. Sehingga rasa nasionalisme atau cinta tanah air dapat kita wujudkan dan dapat masyarakat nikmati secara merata. Rasa kebersamaan ini tidak hanya muncul saat terjadi bencana-bencana alam, keamanan negara diganggu oleh negara lain, warga negara kita disiksa oleh warga negara negara lain, tetapi mestinya muncul pada setiap saat dan tempat. Sehingga masyarakat menjadi aman dan tentram karena pejabat politik memiliki rasa solidaritas yang tinggi untuk membela rakyat agar menjadi maju dan hidup bahagia. Pejabat politik juga memiliki rasa kebersamaan dalam menanggulangi kemiskinan, pengangguran dan  kebodohan yang masih banyak dirasakan oleh rakyat Indonesia walaupun kita sudah merdeka selama 64 tahun.

Tantangan Globalisasi 

Hans J. Morgenthau mengatakan bahwa untuk menjadi sebuah negara yang kuat maka ada beberapa hal-hal yang harus menjadi perhatian yang disebutnya sebagai unsur-unsur kekuatan nasional. Kekuatan nasional adalah kesatuan yang terdiri dari keseluruhan atau gabungan beberapa aspek atau unsur yang terdapat pada suatu negara dan dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan luar negeri.
       Kekuatan nasional sangat menentukan peranan negara dalam perkembangan dunia internasional. Namun demikian tidak berarti bahwa suatu negara harus memiliki secara mutlak keseluruhan dari unsur-unsur kekuatan nasional tersebut. Selain dari unsur-unsur kekuatan nasional yang  dimiliki oleh suatu negara, maka faktor lain yang sangat mempengaruhi kekuatan nasional yang berkaitan dengan unsur-unsur kekuatan nasional tersebut adalah bagaimana suatu negara mampu mengelola dan memanfaatkan dari unsur-unsur kekuatan nasional tersebut. Sehingga suatu negara dapat turut berperan dalam percaturan dunia internasional.
Sebagai contoh ada negara-negara yang kecil dan tidak memiliki banyak unsur-unsur kekuatan nasional, tetapi negara tersebut mampu berperan aktif dan terlibat dalam perkembangan percaturan dunia internasional. Seperti Jepang dan Israel. Sementara ada negara-negara yang besar dan memiliki unsur-unsur kekuatan nasional yang banyak tetapi belum mampu berperan aktif dan mempengaruhi kebijakan dunia internasional, negara-negara ini seperti India dan Indonesia.
       Dua dari sembilan unsur kekuatan nasional yang terkait dengan budaya nasional yang dimaksud Morgenthau yaitu :
1.      Karakter Nasional (ciri khas budaya)
Karakter nasional menyangkut tentang faktor manusia (masyarakat) dan aspek kualitas yaitu sifat moral serta intelektualisme yang fundamental yang merupakan ciri-ciri khas suatu bangsa. Dari situ,  kita secara awam mengatakan sebagai watak, karakter atau sifat suatu bangsa. Maka dari itu dikenal ada bangsa yang dinilai keras seperti negara-negara Islam dan negara lemah  seperti negara-negara di Asia.
Berbagai suku bangsa yang ada dalam suatu negara dengan berbagai karakter budaya yang telah dibentuk oleh zaman dan kondisi dapat memberikan suatu bentuk karakter  nasional tersendiri terhadap suatu negara dan akan menjadi potensi dan kekuatan suatu negara. Bangsa Indonesia yang memiliki kerajaan yang megah dan berjaya pada masa Sriwijaya dan Majapahit mestinya saat ini dapat menjadi negara dan bangsa yang kuat dan gagah perkasa.   
2.      Semangat Nasional
Semangat nasional adalah tingkat ketahanan dan ketangguhan suatu bangsa terhadap dukungan pelaksanaan politik luar negeri dan politik internasional serta kebijakan pemerintah yang akan dilaksanakan.
Semangat nasional menyangkut tentang partisipasi semua rakyat terhadap kebijakan pemerintah. Semangat nasional juga dipengaruhi oleh kualitas rakyat dan pemerintahan dalam membangkitkan dukungan partisipasi rakyat.
Contoh yang mendekati maksud ini adalah semangat nasional negara Jepang dan Iran. Bangsa Indonesia mestinya dapat menjadikan rasa patriotisme/nasionalisme sebagai semangat terhadap pembangunan bangsa dalam semua aspek kehidupan, mulai dari semangat pendidikan, semangat pengembangan ekonomi nasional, semangat pengembangan teknologi dan sebagainya sehingga semangat nasionalisme ini menjadi dasar semua nafas dan gerak masyarakat Indonesia tidak ada yang menyimpang dari semangat nasionalisme Indonesia. Serta tidak dipengaruhi oleh westernisasi dan lainnya.     
Berdasarkan pandangan Morgenthau tersebut, maka Bangsa Indonesia harus siap menghadapi perkembangan era globalisasi yang berkembang sangat cepat terutama dengan semakin berkembangnya teknologi informasi. Budaya nasional Indonesia mestinya dapat menjadi suatu kekuatan nasional yang membanggakan dan dapat memberikan manfaat kepada masyarakat. Budaya nasional tidak hanya sekedar potensi yang dibangga-banggakan saja, hanya tercatat dalam tujuh keajaiban dunia atau menjadi logo atau simbol-simbol daerah saja tetapi dapat lebih dikelola menjadi aset yang bernilai ekonomi dan dapat mendatangkan income bagi negara dan masyarakat lokal.
Globalisasi merupakan media yang dapat difungsikan oleh Bangsa Indonesia untuk mengelola budaya nasional menjadi go internasional. Sehingga masyarakat dunia mengetahui bahwa Indonesia itu luas dan budayanya beranekaragam. Indonesia tidak hanya pulau Bali, tetapi Indonesia ada Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Papua dan lainnya. Film “Love, eat and pray”  yang sebagian ceritanya di Bali menjadi media promosi budaya nasional pada dunia internasional bagi Indonesia, walaupun Bali sudah menjadi trade mark pariwisata Indonesia.
            Berdasarkan konsep tersebut juga bahwa kekuatan nasional suatu bangsa tidak hanya terletak pada kekuatan militer saja. Tetapi dengan berakhirnya era perang dingin, maka kekuatan nasional suatu bangsa juga terletak pada kekuatan ekonomi yang dapat dicapai dengan cara mengelola dan memanfaatkan sebaik-baiknya budaya nasional. Walaupun kita juga mengetahui bahwa tantangan budaya Barat atau westernisasi juga dirasakan begitu kuat pengaruhnya pada bangsa Indonesia saat ini. Dengan ditetapkannya Batik sebagai bagian dari kebudayaan oleh UNESCO, maka pada dasarnya bangsa Indonesia mempunyai peluang yang sangat besar untuk terus mengembangkan budaya-budaya nasional yang lain dari berbagai daerah untuk menjadi bagian dari kebudayaan dunia.    
  
Bagaimana Peran Pemerintah dan Masyarakat?   

Presiden SBY telah meminta para menteri dan kepala daerah  mempercepat inventarisasi karya anak bangsa untuk segera dipatenkan HAKI-nya. Para pengrajin di berbagai daerah, Presiden meminta memasukan nama daerah dan Indonesia pada karyanya dan para pejabat mempermudah prosesnya. Kita harus open, peduli mencantumkan sebagai karya kita.”[11]
Pernyataan tersebut disampaikan SBY pada saat munculnya Iklan Tari Pendet pada  acara Discovery Channel bertajuk “Enigmatic Malaysia” di bulan Agustus 2009 dan semoga pernyataan Presiden SBY tentang budaya nasional tidak hanya pada saat terjadinya klaim-klaim budaya dari negara lain.
Ada bebarapa hal penting yang harus menjadi perhatian pemerintah (pusat dan daerah), termasuk juga masyarakat secara umum dalam upaya pelestarian budaya nasional pada saat era globalisasi ini antara lain yaitu :
1.    Perlunya evaluasi pada peran dan fungsi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata pada Era Kabinet Indonesia Bersatu I dan II. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata harus lebih berperan sebagai lembaga yang bisa “menjual” dan “mendatangkan” keuntungan bagi negara dengan mengembangkan dan melestarikannya. Kalaupun budaya nasional tersebut ditata sedemikian rupa, hanyalah dalam rangka untuk memperoleh income dari negara-negara luar. Bukan income sebagai efek atau manfaat dari upaya pelestarian dan pengembangan budaya nasional itu sendiri. Kata pariwisata menjadi kata yang bermakna “dijual” agar memperoleh income sebanyak-banyaknya bahkan kalau boleh semua unsur budaya nasional harus bisa mendatangkan income bagi negara. Semestinya yang menjadi prioritas negara adalah  melakukan upaya-upaya pelestarian dan pengembangan budaya-budaya nasional dengan sebaik-baiknya. Sehingga menjadi lestari, menarik dan disenangi orang yang selanjutnya akan menjadi  “pemancing” bagi masyarakat dan turis asing untuk melihat dan menikmati keindahaannya, barulah income  terjadi. Jangan dibalik bahwa untuk memperleh income maka pariwisata harus ditata dan dikembangkan. Ini berarti niatnya kurang tepat. Yang benar adalah mari kita tata dan kembangkan budaya nasional dengan baik, dengan sendirinya income akan datang.   
Sebagai contoh di kota-kota besar telah banyak cagar budaya yang tidak dirawat dengan baik dengan alasan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah tidak memiliki dana. Akhirnya lokasi-lokasi tersebut diubah bahkan diganti dengan bangunan mall atau pusat perbelanjaan. Ini artinya pemerintah tidak memiliki niat yang besar untuk melestarikan budaya nasional. Oleh karena itu, penulis lebih setuju bila kebudayaan menjadi satu departemen dengan pendidikan, karena dalam “kebudayaan” ada unsur pendidikan bahkan dapat menjadi media yang harus dilestarikan oleh generasi muda sebagai penerus bangsa sejak sekolah dasar sampai perguruan tinggi, bukan malah kebudayaan hanya “dikomersilkan” saja seperti yang terjadi saat ini.
2.    Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah harus memperhatikan upaya pelastarian budaya nasional. Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah tidak boleh hanya memprioritaskan pada bidang politik dan ekonomi saja. Tetapi juga pada bidang budaya, karena budaya adalah bagian dari kehidupan masyarakat karakter bangsa yang perlu memperoleh perhatian. Pemerintah harus menyediakan kecukupan dana untuk pelestarian budaya walaupun  pemerintah punya banyak utang. Bahkan pertanyaannya adalah seberapa besar utang tersebut yang sudah digunakan untuk melestarikan dan mengembangankan budaya nasional. Soal utang, kita bisa melihatnya pada tabel di bawah ini’
Tabel 1. Hutang Pemerintah Indonesia Pada Era SBY-JK[12]

No
Tahun
Besaran Hutang Luar Negeri
1
Awal 2004
Rp.1.299 Trilliun ($ 139,9 Milliar AS)
2
2006
$ 33,34 Milliar AS
3
2007
$ 39,44 Milliar AS
4
2008
$ 55,56 Millar AS
5
2009
$ 57,6 Milliar AS

Total utang Luar Negeri
Rp.1.700 Trilliun

Maka, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah perlu bekerjasama dengan pihak swasta terutama perusahaan besar untuk menjadi binaan dan tanggung jawab agar budaya nasional dapat dilestarikan dan dikembangkan.
3.  Generasi muda bangsa Indonesia harus mempunyai rasa kebanggan terhadap budaya nasional. Generasi muda harus bisa menampilkan budaya nasional pada setiap moment, bukan sebaliknya menjadi generasi muda yang tidak jelas identitasnya bahkan banyak yang mengikuti budaya-budaya asing supaya dikatakan gaul, termasuk korban globalisasi. Era globalisasi yang didukung dengan teknologi internet mestinya dimanfaatkan sebagai media pelestarian budaya nasional dengan cara mempublikasikan atau bahkan “mendokumentasikan” pada dunia tentang keanekaragaman budaya nasional bangsa Indonesia. Sehingga, masyarakat dari bangsa lain dapat membaca, mengetahui dan mengenal budaya-budaya nasional Indonesia. Jangan sebaliknya, generasi muda Indonesia justru menjadi korban dari negara-negara maju akibat publikasi budaya yang menyebar bahkan dapat “meracuni” generasi muda karena ketidakmampuan melakukan “filterisasi” berbagai “budaya” negara maju tersebut.
4.  Budaya nasional yang terdapat pada masing-masing pemerintah daerah yang merupakan ciri khas daerah seharusnya wajib dipatenkan oleh pemerintah daerah. Sehingga tidak dibebankan pada masyarakat dan menjadi milik pemerintah daerah atas nama masyarakat, karena budaya nasional tidak boleh dimiliki hak patennya oleh satu orang saja tapi milik semua masyarakat yang ada di daerah tersebut. Seperti Tari Reog harus dipatenkan oleh pemerintah daerah Ponorogo dan menjadi milik masyarakat Ponorogo dan Tari Pendet harus dipatenkan oleh pemerintah daerah Bali atas nama masyarakat Bali. Budaya nasional yang terkait dengan Suku Dayak di Kalimantan dapat menjadi masalah bilamana tidak segera diperhatikan, karena di Malaysia juga terdapat Suku Dayak yang berbatasan dengan Kalimantan Timur dan wilayah Sabah Malaysia Timur dan Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan wilayah Serawak Malaysia Timur. Paling tidak pemerintah daerah menjadikan budaya nasional sebagai bagian dari kegiatan-kegiatan pemerintah daerah pada hari-hari tertentu sebagai suatu upaya pelestarian budaya Dayak di Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Demikian juga budaya Melayu yang terdapat di Riau, Pekan Baru yang sangat mirip dengan budaya Melayu yang berbatasan dengan Johor dan Pulau Pinang Malaysia Barat. Festival-festival budaya perlu dilaksanakan dalam rangka melestarikan budaya nasional tersebut sehingga tidak lagi di klaim sebagai budaya Malaysia saja.

Budaya Nasional merupakan aset Bangsa Indonesia yang harus memperoleh perhatian terutama di era Globalisasi saat ini. Budaya nasional menjadi bagian penting negara Indonesia yang dapat dikembangankan dan dikelola sebaik-baiknya. Itu penting agar dapat berfungsi lebih luas tidak hanya sekadar warisan ataupun adat istiadat masyarakat Indonesia yang dirayakan ataupun dilaksanakan pada saat peringatan hari Sumpah Pemuda atau hari Pahlawan saja. Budaya nasional harus menjadi bagian dari aset Bangsa Indonesia yang dapat mendatangkan pendapatan bagi masyarakat dan negara. Tentunya perlu ada suatu kesadaran secara nasional dan dilaksanakan oleh seluruh masyarakat Indonesia pada semua aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
     

Daftar Pustaka

Abdulsyani.  Sosiologi: Skematika, Teori dan Terapan. Jakarta: Bumi Aksara. 2007.

“Arti Rp.1.700 Trilliun Utang Indonesia “ dalam http://beritasore.com/2009/06/22,   diaksesl 1 Agustus 2009 jam 15.30 WIB.

Muhammadun  AS. “ Membangun Kembali Nasionalisme Kaum Muda”,  Republika, 28 Oktober 2009.

Manfred B, Steger. Globalisme: Bangkitnya Ideologi Pasar. Yogyakarta: Lafadf. 2006

Republika. “Jiran yang Suka Mengklaim”. 25 Agustus 2009,

Republika. “RI Protes Malaysia”. 25 Agustus 2009,

Republika.  “Malaysia Cabut Iklan Tari Pendet”. 26 Agustus 2009.

Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2003.








[1] Republika, 25 Agustus 2009.
[2] Ibid.
[3] Republika, 26 Agustus 2009.
[4] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar,   Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 175.
[5] Ibid., hal. 176.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid, hal. 177.
[9] Muhammadun AS, “Membangun Kembali Nasionalisme Kaum Muda”, Republika, 28 Oktober 2009.
[10] Ibid.
[11] Republika, 26 Agustus 2009.

[12] Lihat dalam Berita Sore  http://beritasore.com/2009/06/22 22 Juni 2009.

0 komentar:

Apa yang harus dilakukan, jika hati sedang bimbang dan bingung?

13.44 xanny 0 Comments

Aku tak tau apa yang kurasakan dalam hatiku saat pertama kali lihat dirimu melihatku?

0 komentar:

Bimbang

22.21 xanny 0 Comments

Hati ini gundah...entah apa yang menjadi masalah....
aku tidak tahu bagaimana cara mengartikannya
aku jga tidak tahu apa sebabnya
tetapi perasaan ini terus semakin besar
bahkan semakin membebani pikiran
saudaraku saya mengaharap sumbangan ide dan nasehat untuk saya
jika saudara berkenan memeri nasehat saya sangat berterima kasih
semoga Alloh SWT melipatgandakan amal baiknya
.......................
..............
......

0 komentar:

Bimbang

21.52 xanny 0 Comments

Hati ini gundah...entah apa yang menjadi masalah....
aku tidak tahu bagaimana cara mengartikannya
aku jga tidak tahu apa sebabnya
tetapi perasaan ini terus semakin besar
bahkan

0 komentar:

23.52 xanny 0 Comments


MAKALAH
HAK ASASI MANUSIA DAN DEMOKRASI
DALAM PERSPEKTIF ISLAM













Maka Kuliah: Pendidikan Agama Islam



Disusun oleh:
Akhmad Hasani
0709131023



STIE-STT PELITA BANGSA
BEKASI 2010






HAK ASASI MANUSIA DAN DEMOKRASI DALAM PERSPEKTIF ISLAM



1.   HAK ASASI MANUSIA

Manusia pada khakikatnya secara kodrati dianugerahi hak-hak pokok yang sama oleh Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak pokok ini disebut hak asasi manusia (HAM). Hak asasi manusia adalah sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, yang melakat pada diri manusia, bersifat kodrati, universal dan abadi berkaitan dengan harkat dan martabat manusia. Pada saatnya, hak-hak dasar atao hak-hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, dimana hak-hak asasi ini menjadi dasar daripada hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang lain.
Umumnya, kita, masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam (sebagai akibat pola pendidikan ala barat yang dikembangkan semenjak jaman penjajahan Belanda dan diteruskan oleh bangsa kita pasca proklamasi kemerdekaan hingga kini) itu mengenal  konsepsi HAM yang berasal dari barat. Bangsa kita mengenal itu bermula dari dari sebuah naskah Magna Charta pada tahun 1215 di Inggris dan yang kini berlaku secara universal mengacu pada Deklarasi Universal HAM (DUHAM), yang diproklamasikan oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1948.
Padahal kalau kita mau mempelajari dan tahu betul serta mengacu pada sejarah, sebenarnya sejak Nabi Muhammad SAW memperoleh kenabiannya (abad ke-7 Masehi atau sekitar lima ratus tahun sebelum sebelum Magna Charta lahir) sudah dikenalkan HAM serta dilaksanakan dan ditegakkanya HAM dalam Islam. Atas dasar ini, tidaklah berlebihan jika kiranya konsepsi HAM dalam Islam telah lebih dulu lahir sebelum Magna Charta (HAM versi barat). Bahkan secara kumulatif, konsepsi HAM dalam Islam itu lebih lengkap daripada konsepsi HAM universal.

Pertanyaan adakah ham dalam Islam harus dirunut secara sejarah dialektika HAM dalam Islam. Menurut Anas Urbaningrum hak asasi manusia atau lebih dikenal manusia modern sebagai HAM, telah lebih dahulu diwacanakan oleh Islam sejak empat belas abad silam. Hal ini memberi kepastian bahwa pandangan Islam yang khas tentang HAM sebenarnya telah hadir sebelum deklarasi universal HAM PBB pada 18 Shafar 1369 Hijriyah atau bertepatan dengan 10 Desember 1948 Masehi (Anas, 2004;91). Secara internasional umat Islam yang terlembagakan dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada 5 Agustus 1990 mengeluarkan deklarasi tentang HAM dari perspektif Islam. Deklarasi yang juga dikenal sebagai “Deklarasi Kairo” mengandung prinsip dan ketentuan tentang HAM berdasarkan syari’ah (Azra).
HAM dalam Islam telah dibicarakan sejak empat belas tahun yang lalu (Anas Urbaningrum, 2004;91). Ini dibuktikan oleh adanya Piagam Madinah (mitsaq Al-Madinah) yang terjadi pada saat Nabi Muhammad berhijrah ke kota Madinah. Dalam Dokumen Madinah atau Piagam Madinah itu berisi antara lain pengakuan dan penegasan bahwa semua kelompok di kota Nabi itu, baik umat yahudi, umat nasrani maupun umat Islam sendiri, adalah merupakan satu bangsa (Idris, 2004;102). Dari pengakuan terhadap semua pihak untuk bekerja sama sebagai satu bangsa, didalam piagam itu terdapat pengakuan mengenai HAM bagi masing-masing pihak yang bersepakat dalam piagam itu. Secara langsung dapat kita lihat bahwa dalam piagam madinah itu HAM sudah mendapatkan pengkuan oleh Islam
Memang, terdapat prinsip-prinsip HAM yang universal; sama dengan adanya perspektif Islam universal tentang HAM (huqul al-insan), yang dalam banyak hal kompatibel dengan Deklarasi Universal HAM (DUHAM). Tetapi juga harus diakui, terdapat upaya-upaya di kalangan sarjana Muslim dan negara Islam di Timur Tengah untuk lebih mengkontekstualisasikan DUHAM dengan interpretasi tertentu dalam Islam dan bahkan dengan lingkungan sosial dan budaya masyarakat-masyarakat Muslim tertentu pula.
Islam sebagai agama universal membuka wacana signifikan bagi HAM. tema-tema HAM dalam Islam, sesungguhnya merupakan tema yang senantiasa muncul, terutama jika dikaitkan dengan sejarah panjang penegakan agama Islam. Menurut Syekh Syaukat Hussain yang diambil dari bukunya Anas Urbaningrum, HAM dikategotrikan dalam dua klasifikasi. Pertama, HAM yang didasarkan oleh Islam bagi seseorang sebagai manusia. Dan kedua, HAM yang diserahkan kepada seseorang atau kelompok tertentu yang berbeda. Contohnya seperti hak-hak khusus bagi non-muslim, kaum wanita, buruh, anak-anak dan sebagainya, merupakan kategori yang kedua ini (Anas, 2004;92).
Berdasarkan temuan diatas akan kita coba mencari kesamaan atau kompatibilitas antara HAM yang terkandung dalam Islam. Akan kita coba membagi hak asasi manusia secara klasifikasi hak negatif dan hak positif. Dalam hal ini hak negatif yang dimaksud adalah hak yang memberian kebebasan kepada setiap individu dalam pemenuhannya.
Yang pertama adalah hak negatif yaitu memberikan kebebasan kepada menusia dalam pemenuhannya. Bebrapa yang dapat kita ambil sebagai contoh yaitu:
Hak atas hidup, dan menghargai hidup manusia. Islam menegaskan bahwa pembunuhan terhadap seorang manusia ibarat membunuh seluruh umat manusia. Hak ini terkandung dalam surah Al-Maidah ayat 63 yang berbunyi :
Oleh karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi bani israil, bahwa: barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memlihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keternagan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantar amereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi. (QS 5;63)
Hak untuk mendapat perlindungan dari hukuman yang sewenarg wenang. yaitu dalam surat Al An’am : 164 dan surat Fathir 18 yang masing masing berbunyi :
Katakanlah: “Apakah aku mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia adalah tuhan bagi segala sesuatu. Dan tidaklah sesorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan”. (QS 6;164)
Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan jika sesorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikit pun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya. Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan hanya orang-orang yang takut kepada azab Tuhannya (sekalipun) mereka tidak melihat-Nya dan mereka mendirikan sembahyang. Dan barangsiapa yang mensucikan dirinya, sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan kepada Allah-lah kembali(mu). (QS 35;18)
Hak atas keamanan dan kemerdekaan pribadi terdapat dalam surat An Nisa ayat 58 dan surat Al-Hujurat : 6 yang berbunyi seperti ini:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS 4;58)
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang yang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaanya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (QS 49;6)
Hak atas kebebasan beragama memilih keyakinan berdasar hati nurani. Yang bisa kita lihat secara tersirat dalam surat Al Baqarah ayat 256 dan surat Al Ankabut ayat 46 yang berbunyi:
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada yang thagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS 2;256)
Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zhalim di antara mereka, dan katakanlah: “kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri”. (QS 29;46)
Hak atas persamaan hak didepan hukum secara tersirat terdapat dalam surat An-Nisa ayat 1 dan 135 dan Al Hujurat ayat13:
Hai sekalian manusia bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciotakan dari diri yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah)hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS 4;1)
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tau kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. (QS 4;135)
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjdaikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS 49;13)
Dalam hal kebebasan berserikat Islam juga memberikan dalam surat Ali Imran ayat 104-105 yang berbunyi:
Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar ; merekalah orang yang beruntung. (QS 3;104)
Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat. (QS 3;105)
Dalam memberikan suatu protes terhadap pemerintahan yang zhalim dan bersifat tiran. Islam memberikan hak untuk memprotes pemerintahan yang zhalim, secara tersirat dapat diambil dari surat An-Nisa ayat 148, surat Al Maidah 78-79, surat Al A’raf ayat 165, Surat Ali Imran ayat 110 yang masing masing berbunyi:
Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS 4;148)
Telah dila’nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan ‘Isa Putera Maryam. Yang demikian itu. Disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. (QS 5;78)
Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan yang munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. (QS 5;79)
Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik. (QS 7;165)
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab Beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; diantara mereka yang ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS 3;110)
Dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya seperti bentuk hak positif dalam hak ekonomi sosial dan Islam pun mengandung secara tersirat mengenai hak ini.
Hak mendapatkan kebutuhan dasar hidup manusia secara tersirat terdapat dalam surat Al Baqarah ayat 29, surat Ad-Dzariyat ayat 19, surat Al Jumu’ah ayat 10, yang berbunyi:
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada dimuka bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS 2;29)
Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian. (QS 51;19)
Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (QS 62;10)
Dalam hak mendapatkan pendidikan Islam juga memiliki pengaturan secara tersirat dalam surat Yunus ayat 101, surat Al-Alaq ayat 1-5, surat Al Mujadilah ayat 11 dan surat Az-Zumar ayat 9 yang masing-masing berbunyi berbunyi:
Katakanlah: “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfa’at tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman”. (QS 10;101)
Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: “berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah. Niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan:berdirilah kamu, maka berdirilah kamu, niscaya Allah akan meninggikan orang orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS 58;11)
(apakah kamu hai orang yang musyrik) ataukah orang-orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhrat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”. Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.


2.   DEMOKRASI

Isitilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem “demokrasi” di banyak negara.
Kata “Demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.

Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan rakyat) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
Semenjak kemerdekaan 17 Agustus 1945, Undang-Undang Dasar 1945 memberikan penggambaran bahwa Indonesia adalah negara demokrasi. Dalam mekanisme kepemimpinannya Presiden harus bertanggung jawab kepada MPR dimana MPR adalah sebuah badan yang dipilih dari Rakyat. Sehingga secara hirarki seharusnya rakyat adalah pemegang kepemimpinan negara melalui mekanisme perwakilan yang dipilih dalam pemilu. Indonesia sempat mengalami masa demokrasi singkat pada tahun 1956 ketika untuk pertama kalinya diselenggarakan pemilu bebas di indonesia, sampai kemudian Presiden Soekarno menyatakan demokrasi terpimpin sebagai pilihan sistem pemerintahan. Setelah mengalami masa Demokrasi Pancasila, sebuah demokrasi semu yang diciptakan untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto, Indonesia kembali masuk kedalam alam demokrasi pada tahun 1998 ketika pemerintahan junta militer Soeharto tumbang. Pemilu demokratis kedua bagi Indonesia terselenggara pada tahun 1999 yang menempatkan Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan sebagai pemenang Pemilu.
Secara etimologis, musyawarah berasal dari kata “syawara” yang pada mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain, termasuk pendapat. Musyawarah dapat juga berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu. Kata musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya.
Karena kata musyawarah adalah bentuk mashdar dari kata kerja syawara yang dari segi jenisnya termasuk kata kerja mufa’alah (perbuatan yang dilakukan timbal balik), maka musyawarah haruslah bersifat dialogis, bukan monologis. Semua anggota musyawarah bebas mengemukakan pendapatnya. Dengan kebebasan berdialog itulah diharapkan dapat diketahui kelemahan pendapat yang dikemukakan, sehingga keputusan yang dihasilkan tidak lagi mengandung kelemahan.
Musyawarah atau syura adalah sesuatu yang sangat penting guna menciptakan peraturan di dalam masyarakat mana pun. Setiap negara maju yang menginginkan keamanan, ketentraman, kebahagiaan dan kesuksesan bagi rakyatnya, tetap memegang prinsip musyawarah ini. Tidak aneh jika Islam sangat memperhatikan dasar musyawarah ini. Islam menamakan salah satu surat Al-Qur’an dengan Asy-Syura, di dalamnya dibicarakan tentang sifat-sifat kaum mukminin, antara lain, bahwa kehidupan mereka itu berdasarkan atas musyawarah, bahkan segala urusan mereka diputuskan berdasarkan musyawarah di antara mereka. Sesuatu hal yang menunjukkan betapa pentingnya musyawarah adalah, bahwa ayat tentang musyawarah itu dihubungkan dengan kewajiban shalat dan menjauhi perbuatan keji.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an Surat Asy-Syura 42: 37-38 : “Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji, dan apabila mereka marah, mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan-Nya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antar mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”

Dalam ayat di atas, syura atau musyawarah sebagai sifat ketiga bagi masyarakat Islam dituturkan sesudah iman dan shalat. Menurut Taufiq asy-Syawi, hal ini memberi pengertian bahwa musyawarah mempunyai martabat sesudah ibadah terpenting, yaitu shalat, sekaligus memberikan pengertian bahwa musyawarah merupakan salah satu ibadah yang tingkatannya sama dengan shalat dan zakat. Maka masyarakat yang mengabaikannya dianggap sebagai masyarakat yang tidak menetapi salah satu ibadah. ‘Abdul KarÄ«m Zaidan menyebutkan bahwa musyawarah adalah hak ummat dan kewajiban imam atau pemimpin. Dalilnya adalah firman Allah SWT yang memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk bermusyawarah dengan para sahabat.
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Ali ‘Imran 3: 159)
Ayat di atas turun dalam konteks Perang Uhud, di mana pasukan Islam nyaris mengalami kehancuran gara-gara pasukan pemanah yang ditempatkan Nabi di atas bukit tidak disiplin menjaga posnya. Akibatnya posisi strategis itu dikuasai musuh dan dari sana mereka balik menyerang pasukan Islam. Namun demikian Nabi tetap bersikap lemah-lembut dan tidak bersikap kasar kepada mereka.
Sebenarnya sebelum perang Uhud Nabi sudah bermusyawarah terlebih dahulu dengan para sahabat tentang bagaimana menghadapi musuh yang akan datang menyerang dari Mekkah, apakah ditunggu di dalam kota atau disongsong ke luar kota. Musyawarah akhirnya memilih pendapat yang kedua. Dengan demikian, perintah bermusyawarah kepada Nabi ini dapat kita baca sebagai perintah untuk tetap melakukan musyawarah dengan para sahabat dalam masalah-masalah yang memang perlu diputuskan bersama.
Mengomentari perintah musyawarah kepada Nabi dalam ayat di atas Muhammad Abdul Qadir Abu Faris menyatakan: “Jika Rasulullah SAW yang ma’shum dan mendapatkan penguat wahyu, sampai tidak pernah berbicara dengan nafsu telah diperintahkan dan diwajibkan oleh Allah SWT agar bermusyawarah dengan para sahabatnya, sudah tentu, bagi para hakim dan umara, musyawarah sangatlah ditekankan”.
Bahkan Rasulullah SAW yang memiliki kedudukan yang sangat mulia itu banyak melakukan musyawarah dengan para sahabat beliau seperti tatkala mencari posisi yang strategis dalam perang Badar, sebelum perang Uhud untuk menentukan apakah akan bertahan di dalam kota atau di luar kota, tatkala Nabi berencana untuk berdamai dengan panglima perang Ghathafan dalam perang Khandaq, dan kesempatan lainnya.
Memang, musyawarah sangat diperlukan untuk dapat mengambil keputusan yang paling baik di samping untuk memperkokoh persatuan dan rasa tanggung jawab bersama. ‘Ali ibn AbÄ« Thalib menyebutkan bahwa dalam musyawarah terdapat tujuh hal penting yaitu mengambil kesimpulan yang benar, mencari pendapat, menjaga kekeliruan, menghindarkan celaan, menciptakan stabilitas emosi, keterpaduan hati.

PANDANGAN DAN PERMASALAHAN

Kita hidup di dunia ini tak akan pernah lepas dari kejaran masalah-masalah, baik itu masalah pribadi maupun masalah yang menyangkut kesejahteraan rakyat. Sebagai makhluk sosial, kita tak akan bisa hidup tanpa orang lain yang membantu kita, karena kita diciptakan oleh Allah SWT berpasang-pasangan dan diwajibkan untuk saling membantu serta saling melengkapi. Kenapa kita harus saling melengakpi dalam hidup ini? Karena manusia itu kan tidak ada yang sempurna, oleh karena itu kita harus saling melengkapi agar ketika kita ditimpa musibah, kita dapat menyelesaikannya bersama.
Demokrasi saat ini sudah banyak diperbincangkan bahkan diagung-agungkan yang katanya sebagai solusi dari suatu permasalahan. Katanya sich, demokrasi itu sebuah kebebasan berpendapat setiap individu. Tapi pendapat yang bagaimana nich…! menurut pengetahuan yang saya dapat, memang benar demokrasi itu sebuah kebebasan setiap individu, meskipun individu tersebut orang awam artinya orang tersebut tidak mengerti masalah yang sedang dihadapi, dan dia seakan-akan dipaksa untuk memberikan pendapatnya, secara otomatis pasti dia memberikan pendapat sesuka hatinya, meskipun pendapatnya itu bertentangan dengan agama. Kalo udah kayak gitu, apakah demokrasi itu sejalan dengan ajaran agama kita yakni agama Islam? Dan apakah demokrasi akan membawa kejayaan untuk Islam?
Pemungutan suara atau biasa disebut dengan voting sering digunakan oleh lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi baik dalam sebuah negara maupun dalam sebuah perkumpulan biasa, di dalam mengambil sebuah sikap atau dalam memilih seorang pimpinan dan lain-lain. Cara ini sudah menjadi sesuatu yang gak asing lagi di mata kita, karena semua permasalahan diselesaikan dengan cara mengambil suara mayoritas atau dengan pemungutan suara itu. Dengan pemungutan suara secara otomatis siapa saja / masyarakat umum bisa dilibatkan di sini. Padahal kan banyak diantara masyarakat itu gak tau. Dan dalam memilih seorang pemimpin umat pun cara itulah yang digunakan, walaupun orang itu tidak tahu apa dan bagaimana kriteria seorang pemimpin umat menurut konsep Islam.
Pemungutan suara atau voting boleh digunakan dalam pengambilan sebuah sikap atau keputusan, tapi tidak untuk menentukan pemimpin umat. Sebab, ini menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara yang cakupannya sangat luas. Kenapa saya menganggap voting itu dibolehkan dalam pengambilan sebuah keputusan atau sikap? Karena pada zaman Nabi Muhammad SAW banyak sekali bentuk praktek voting di zaman nabi Muhammad SAW, yang intinya memang menggunakan jumlah suara sebagai penentu dalam pengambilan keputusan.
Misalnya, ketika musyawarah menentukan sikap dalam menghadapi perang Uhud. Sebagian kecil shahabat punya pendapat sebaiknya bertahan di Madinah, namun kebanyakan shahabat, terutama yang muda-muda dan belum sempat ikut dalam perang Badar sebelumnya, cenderung ingin menyongsong lawan di medan terbuka. Maka Rasulullah SAW pun ikut pendapat mayoritas, meski beliau sendiri tidak termasuk yang mendukungnya.
Sebelumnya dalam perang Badar, juga Rasulullah SAW memutuskan untuk mengambil suara terbanyak, tentang masalah tawanan perang. Umumnya pendapat menginginkan tawanan perang, bukan membunuhnya. Hanya Umar bin Al-Khattab saja berpendapat bahwa tidak layak umat Islam minta tebusan tawanan, sementara perang masih berlangsung. Tetapi, kesemuanya itu tetap dilakukan dengan cara musyawarah terlebih dahulu, tidak seenaknya menentukan keputusan.
Setelah kita melihat contoh-contoh pada zaman Rasulullah SAW, menggunakan voting sebagai pemutusan sebuah sikap, tetapi bukan untuk menentukan seorang pemimpin umat. Apa yang terjadi di Negara kita? Negara ini menggunakan voting sebagai penentu untuk menentukan siapa pemimpin Negara, Daerah, dll. Jadi, voting hanya boleh dipakai untuk menentukan sikap atau keputusan yang tidak bersinggungan dengan syariah (aqidah).
Arti dari Pemungutan suara (PEMILU) itu sendiri adalah pemilihan pemimpin dengan cara mencatat nama yang dipilih atau dengan mencoblos salah satu calon yang diinginkan (disuka) atau dengan kata lain voting. Pemungutan suara ini, meskipun memiliki arti: pemberian hak pilih, tapi gak perlu digunakan dalam pemilihan pemimpin, apalagi ini dalam menentukan pemimpin umat yang cakupannya lebih besar, bahkan besar banget!!
Cara itulah yang digunakan oleh negara demokrasi seperti Indonesia. Dengan pemungutan suara (demokrasi) menentukan seorang pemimpin dengan pelaksanaannya yang dinamakan dengan PEMILU (Pemilihan Umum), seperti yang telah dijelaskan di atas. Dengan pemilu, seluruh rakyat memilih calon pemimpin negara (yang dikasih nama Presiden itu). Jadi, seluruh warga baik yang awam maupun yang cerdas atau yang berpendidikan, berhak menentukan pemimpinnya yang nantinya dia yang menjalankan roda pemerintahan di negara tersebut. Kekuasaan / kedaulatan itu semuanya berada di tangan rakyat secara mutlak.
Dengan cara dan praktek kayak gini bisa aja seorang yang gak layak menjadi pemimpin (Pemabuk, Koruptor, Pemerkosa, dll) keluar menjadi pemenangnya, terus gimana nasib negara ini kalo yang jadi pemimpin itu pemabuk, koruptor, pemerkosa, dll. Adapun yang pantas dan berhak menjadi pemimpin malah tersingkir atau malahan gak dipandang sama sekali !
Sedangkan dalam Islam metode pemungutan suara ini tidak dibenarkan (penentuan seorang pemimpin ummat), yang digunakan adalah metode musyawarah (syuro) dan mengajarkan bahwa kedaulatan itu bukan berada di tangan manusia, tetapi berada di tangan Allah SWT dan Rasul-Nya dan berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Hadits. Allah SWT pun berfirman:
Surat Al-Ahzab: 36 yang artinya: “Dan tidaklah patut laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya maka sungguh di telah sesat, sesat yang nyata.”
Surat An-Nisaa: 58 yang artinya: “Sesungguhnya Allah SWT menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh kamu menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil”.
Surat An-Nisaa itu pun menjelaskan bahwa dalam menentukan pemimpin atau memberi amanat itu hanya kepada yang mampu menerima dan melaksanakan amanat tersebut, artinya dia mampu dan termasuk dalam kriteria seorang pemimpin yang dimaksudkan Islam tadi. Kepemimpinan adalah sebuah amanat yang sangat agung, yang menyangkut tentang seluk-beluk kehidupan manusia. Oleh karena itu amanat ini harus diserahkan kepada yang berhak menerimanya menurut pandangan syari’at. Proses pemungutan suara bukanlah cara yang tepat untuk penyerahan amanat tersebut. Karena cara itu tidak bisa menjamin kalo amanat itu tersampaikan kepada yang berhak. Bahkan di lapangan pun telah terbukti kalo yang menerima amanat itu bukan orang-orang yang berhak menerimanya, misalnya saja seorang pemimpin yang selalu ragu-ragu dalam mengambil sebuah kebijakan, sebab di dalam Islam itu seorang pemimpin itu harus tegas dalam menentukan kebijakan atau keputusan-keputusan; dan bisa saja pemimpin tersebut adalah seorang KORUPTOR.
Pemimpin Negara (Kepala Negara), menurut Al-Baqillani, harus berilmu pengetahuan yang luas, karena ia memerlukan para hakim yang berlaku adil. Dengan ilmunya itu ia dapat mengetahui apakah putusan hakim sesuai dengan ketentuan hukum atau tidak dan apakah sesuai dengan asas keadilan. Syarat lain, kepala negara harus bertindak adil dalam segala urusan, berani dalam peperangan, dan bijaksana dalam mengorganisir militer yang bertugas melindungi rakyat dari gangguan musuh. Dan dalam segala tindakannya itu harus bertujuan untuk melaksanakan “Syari’at Islam”. Artinya dalam mengatur kepentingan umat harus sesuai dengan “Syari’at Islam”. Tidak berbeda dari Al-Baqillani, Al-Baghdadi menyatakan: “Kelompok kami berpendirian bahwa orang yang berhak memegang jabatan khalifah (Pemimpin Negara) harus memiliki kualitas berikut: 1) berilmu pengetahuan, minimal untuk mengetahui apakah undang-undang yang dibuat para mujtahid sah menurut hukum agama dan peraturan-peraturan lainnya; 2) bersifat jujur dan saleh; 3) bertindak adil dalam menjalankan segala tugas pemerintahan dan berkemampuan”.
Jadi, sudah jelas dari kedua kelompok di atas tadi menjelaskan bahwa syarat menjadi seorang pemimpin negara itu adalah harus orang yang memiliki ilmu pengetahuan, minimalnya dia harus tahu apakah undang-undang yang dibuatnya tidak keluar dari batas-batas hukum agama Islam yang berpedoman kepada Al-Qur’an dan Hadits. Kita lihat di Indonesia, apakah undang-undang kita masih dalam batas-batas yang telah dibatasi oleh pedoman agama kita yakni Al-Qur’an dan Hadits? Menurut kaca mata saya, undang-undang yang diterapkan di negara ini sudah melenceng dari Al-Qur’an dan Hadits, contohnya saja penjualan minuman keras masih merajalela bahkan dibiarkan beroperasi. Dan yang lebih parah lagi, pemilihan seorang pemimpin (kepala negara) dilaksanakan dengan cara pemungutan suara, padahal Islam tidak mengajarkan seperti itu. justru islam mengajarkan bahwa dalam penentuan seorang pemimpin itu dilaksanakan dengan cara bermusyawarah. Sebenarnya bukan keluar dari Al-Qur’an dan Hadits saja, demokrasi pun sudah tidak sesuai lagi dengan pedoman hidup negara kita yakni Pancasila. Seperti yang tercantum dalam sila ke 4 : “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah, kebijaksanaan dalam permusyawaratan, perwakilan”. Disini dikatakan bahwa “kebijaksanaan dalam permusyawaratan” bukanlah “kebijaksanaan dalam demokrasi”. Jadi, jelas sekali ternyata demokrasi bukan hanya tidak sesuai dengan pedoman agama kita (Al-Qur’an dan Hadits), tetapi dengan Pancasila pun sudah tidak sesuai.
Sebenarnya Pancasila yang ada di negara kita ini sudah benar, sebab isi silanya itu merupakan isi yang sesuai dengan ajaran agama Islam, isinya itu tidak keluar dari pagar pembatas Al-Qur’an dan Hadits.
Kalo dalam demokrasi itu sich nash-nash syari’at dan hukum-hukum Allah itu gak dianggap, tapi yang dianggap dan dijadikan acuan dalam demokrasi ini adalah “Hukum Rakyat”. Jadi rakyat adalah sumber hukum dalam setiap permasalahan ummat. Oleh karena itu, orang-orang mendefinisikan demokrasi itu dalam undang-undang dengan sebutannya “Kedaulatan sepenuhnya berada di tangan Rakyat”, sehingga demokrasi bisa disebut dengan nama hukum mayoritas rakyat (suara terbanyak).
Di dalam Islam dalam menentukan seorang pemimpin ummat tidak menggunakan demokrasi (suara mayoritas), tapi Islam menyelesaikan masalah ummat atau bahkan menentukan pemimpin umat itu dengan cara Musyawarah (Syuro). Jadi setiap permasalahan yang ada, diselesaikan dengan Musyawarah. Kan musyawarah itu didefinisikan dengan mengeluarkan pendapat setiap anggota musyawarah itu. Nanti dulu donk? Kita selidiki dulu, siapa yang berhak mengeluarkan pendapat itu? Dan anggota musyawarah itu, siapa? Nah, yang berada di Majelis Syuro itu adalah ahl al-hall wa al-‘aqd dan ahl al-ikhtiyar, yang artinya “orang yang berkompeten untuk melepas dan mengikat”. Nah, sekarang udah jelas nich, siapa yang berada di Majelis Syuro itu, yakni orang-orang yang berkompeten di bidangnya masing-masing, seperti Ulama, Kepala Negara, dan para pemuka masyarakat yang berusaha mewujudkan kemaslahatan rakyat. Kalo gitu, Islam tidak mengenal yang namanya Hak Asasi Manusia (HAM) donk?
Jangan salah, Islam mengenal yang namanya HAM, lihat salah satu anggota musyawarah di atas, ”Para Pemuka Masyarakat”. Nah, sebelum ada para pemuka masyarakat itu, dia meminta pendapat masyarakatnya terlebih dahulu, dan selanjutnya ditampung oleh tokoh masyarakat itu dan disampaikan di Majelis Syuro itu. Kenapa hanya Tokoh Masyarakat saja yang dibawa ke majelis syuro? Karena pada dasarnya manusia itu gak semuanya berkompeten.
Dan menurut teori Mc. Gregor, jika manusia diberi kebebasan, mereka akan melakukannya menurut cara mereka sendiri / sesuaka hati meskipun itu melanggar peraturan. Jadi, di dalam Islam yang berada di dalam majelis Syuro adalah para wakil rakyat. Ada yang mengatakan bahwa pemungutan suara adalah bagian dari musyawarah. Tentu saja amat berbeda jauh antara Musyawarah mufakat menurut Islam dengan pemungutan suara ala Demokrasi, yakni perbedaan itu diantaranya
1.   Dalam musyawarah mufakat, keputusna ditentukan oleh dalil-dalil walaupun suaranya minoritas
2.   Anggota musyawarah adalah ahli ilmu (ulama) dan orang-orang shalih, adapun di dalam  pemungutan suara anggotanya bebas siapa saja
3.   Musyawarah hanya perlu dilakukan jika tidak ada dalil yang jelas dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Adapun dalam pemungutan suara, walaupun sudah ada dalil yang jelas seterang matahari, tetap saja dilakukan karena yangberkuasa adalah suara terbanyak, bukan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Mengenai masalah para wakil rakyat, Islam punya kriteria tersendiri bagi orang-orang yang duduk di Majelis Syuro. Ada tiga syarat, yaitu:
1.   Sifat adil terhadap siapa saja dan senantiasa memelihara wibawa dan nama bik;
2.   Mempunyai pengetahuan yang memadai tentang seluk-beluk negara (ketatanegaraan) sehingga mampu menentukan pilihan dengan membedakan siapa yang paling berhak untuk diangkat menjadi Imam (Kepala Negara); dan
3.   Wawasan luas dan kebijaksanaan sehingga mampu menilai berbagai alternatif serta memilih yang terbaik untuk umat sesuai dengna kemaslahatannya dan menjauhkan yang dapat membahayakannya.
Dan disamping hal tersebut juga perlu diperhatikan bahwa ia juga harus senantiasa memperhatikan tradisi yang ada di masyarakat itu sendiri. Jadi, para wakil rakyat harus memperhatikan tradisi atau budaya yang terdapat dalam masyarakat yang sedang diwakili oleh wakil rakyat itu. Dengan adanya ketiga syarat itu, diharapkan para wakil rakyat itu akan dapat mewakili kamuan dan kehendak rakyat yang diwakilinya.
Pada buku yang saya baca dengan judul “Demokrasi Sejalan dengan Islam?”, saya setuju dengan apa yang dikatakan di dalam buku ini, mengenai perbedaan demokrasi dengan syuro yang diibaratkan bagaikan langit dan bumi, yang perbedaannya itu, ialah:
v Syuro adalah aturan dan manhaj rabbaniy, sedangkan demokrasi adalah hasil karya manusia yang serba kekurangan yang selalu diombang-ambing oleh hawa nafsu dan emosi.
v Syuro adalah bagian dari syarai’at Allah SWT, dien-Nya dan hukum-Nya, sedangkan demokrasi adalah penentangan terhadap hukum Allah SWT.
v Syuro dilakukan dalam masalah yang tidak ada nash di dalamnya, adapun dalam masalah yang sudah ada nashya maka tidak ada syuro.
Jadi, di point ke tiga disebutkan bahwa syuro itu sendiri digunakan jika dalam suatu masalah itu tidak ada nash di dalamnya, baru diadakan syuro. Dan orang-orang yang berada di dalamnya itu pun harus orang-orang yang berkompeten di bidangnya. Dan jika masalah itu sudah ada nash nya, maka syuro itu pun tidak berlaku. Jadi, penyelesaiannya itu dengan cara mengikuti hukum yang udah diturunkan oleh Allah SWT yakni Al-Qur’an dan Hadits. Karena yang menentukan hukum itu bukanlah manusia, tetapi manusia lah yang wajib mentaati aturan yang diturunkan oleh Allah SWT, Rasul-Nya dan kemudian kepada pemimpin kaum muslimin.


KESIMPULAN

Yang namanya negara itu pasti memerlukan seorang pemimpin, karena tanpa adanya seorang pemimpin, maka akan dibawa kemana negara ini. Setiap pemimpin negara itu pasti memiliki tujuan masing-masing, dimana tujuan itu tidak lain yaitu ingin mencapai sebuah kesejahteraan untuk rakyatnya. Apakah dengan demokrasi, tujuan negara ini akan terwujud? Dan apakah dengan sembarang pilih pemimpin, tujuan negara akan terwujud?
Untuk menentukan seorang pemimpin terutama pemimpin ummat dan negara itu jangan sembarangan untuk memilihnya, karena jika kita salah pilih, maka akibatnya akan fatal yang akan berdampak kepada rakyat dan negara itu sendiri. Apakah kita mau dijajah kembali, oleh ‘Belanda’ misalnya?. Tentu tidak, kan? Oleh karena itu mari kita mulai perubahan ini dimulai dari diri kita sendiri, karena hanya kita yang dapat membuat sebuah perubahan itu untuk negara ini.
Mungkin kita pun bingung, bagaimana cara merubahnya? Jika saya harus merubah sistem demokrasi, itu sangat tidak mungkin, karena apa? Karena saya hanyalah seorang Mahasiswa yang tidak mampu untuk melakukan itu, saya tidak punya wewenang dan saya tidak punya kemampuan untuk melakukannya, saya hanya Mahasiswa ‘ecek-ecek’, hehe…..hehe…
Setiap ideologi yang ada di setiap negara itu pasti memiliki tujuan yang baik, tetapi tak dapat dipungkiri juga, bahwa kemampuan manusia itu sangat terbatas. Terus, apa sebenarnya yang harus kita rubah? Orangnya kah? Atau sistemnya yang kita rubah?, yang sudah saya bilang tadi, bahwa sistem itu tidak mungkin saya rubah. Menurut saya, mungkin dari orangnya tadi yang perlu kita rubah. Mulai dari yang pertama, jika dalam PEMILU 2009 nanti, jangan sampai kita terpengaruh oleh bujukan-bujukan setan yang hanya memberikan kenikmatan sesaat, misalnya jangan sampai kita mudah untuk disogok oleh para oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab, sebab itu akan berakibat kepada negara dan kita sebagai rakyatnya nanti. Kita harus berfikir ke depan, jangan hanya berfikir konsumtif yang hanya memikirkan kejadian pada saat itu juga, tetapi kita harus berfikir panjang. Bagaimana negara ini akan berubah, jika kita hanya mampu menerima ‘Uang Suap’ yang memberi kenikmatan sesaat kepada kita. Mari kita berfikir panjang!!
Nah yang kedua, kita dalam memilih seorang ‘pemimpin rakyat’, kita harus mampu mengenal calon pemimpin kita terlebih dahulu. Jangan memilih presiden secara ‘subjektif’, artinya kita memilih, jangan karena calon presiden itu sodara kita atau mungkin calon presiden itu ‘ganteng’. Mari kita pilih pemimpin kita berdasarkan apa yang dimiliki oleh calon tersebut.
Artinya, apakah orang tersebut mampu memimpin negara dan rakyatnya kelak? Kita pilih berdasarkan kriteria seorang pemimpin yang telah diberikan oleh Islam, yakni apa yang telah dipaparkan oleh Al-Baghdadi, yang menyatakan: “Kelompok kami berpendirian bahwa orang yang berhak memegang jabatan khalifah (Pemimpin Negara) harus memiliki kualitas berikut: 1) berilmu pengetahuan, minimal untuk mengetahui apakah undang-undang yang dibuat para mujtahid sah menurut hukum agama dan peraturan-peraturan lainnya; 2) bersifat jujur dan saleh; 3) bertindak adil dalam menjalankan segala tugas pemerintahan dan berkemampuan”.
Walaupun begitu tetaplah syari’at islam yang nomor 1 (satu), hanya dengan syariat Islam, negara ini akan merasakan kesejahteraan. Setelah saya berkicau kesana-kemari, walaupun dari tadi gak ada yang mau ngalah, semuanya tetap pada pendiriannya masing-masing dan saya juga tetap pada pendirian saya. Nah, akhirnya saya memberi kesimpulan bahwasanya “Demokrasi itu tidak sejalan dengan Islam” yang mana di dalam islam itu tidak ada demokrasi, tetapi yang ada hanyalah musyawarah (syuro), untuk menentukan seorang pemimpin ummat khususnya.
Mari kita bersama-sama untuk menerapkan kembali musyawarah yang sebenarnya sudah menjadi pedoman hidup kita yakni yang terdapat dalam Pancasila, sila ke 4. Hanya dengan bermusyawarah, kita akan mendapatkan sebuah jawaban yang mendekati kebenaran bahkan kebenaran, karena kita bermusyawarah tidak hanya mengeluarkan pendapat sesuka kita, tetapi musyawarah dalam Islam itu adalah berpendapat yang tidak keluar dari Al-Qur’an dan Hadits.
Yang mana Al-Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan oleh Allah melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW, yang isinya sudah tidak diragukan lagi dan isinya pun mencakup segala seluk beluk kehidupan yang terdapat di dunia dan di akhirat. Dan Hadits yakni ucapan-ucapan Nabi Muhammad SAW pada saat Baginda kita masih hidup di dunia ini.
Ingat kawan!! Ideologi Islam adalah yang terbaik daripada ideologi-ideologi yang terdapat di dunia ini, karena ideologi Islam bukan manusia yang sengaja membuatnya, tetapi Allah SWT yang menurunkannya dan diamanhkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk meng-syiarkannya ke seluruh penjuru dunia. Jadi, jangan sekali-kali menyamakan demokrasi dengan musyawarah (syuro) yang terdapat dalam Islam. Keduanya itu memiliki perbedaan yang sangat jauh… sekali. Bagaikan langit dan bumi.


Sumber:
1. Al Qur’an dan Hadist

0 komentar: