MAKALAH
HAK ASASI MANUSIA DAN DEMOKRASI
DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Maka Kuliah: Pendidikan Agama Islam
Disusun oleh:
Akhmad
Hasani
0709131023
STIE-STT
PELITA BANGSA
BEKASI
2010
HAK ASASI MANUSIA DAN DEMOKRASI DALAM
PERSPEKTIF ISLAM
1. HAK ASASI MANUSIA
Manusia
pada khakikatnya secara kodrati dianugerahi hak-hak pokok yang sama oleh Tuhan
Yang Maha Esa. Hak-hak pokok ini disebut hak asasi manusia (HAM). Hak asasi
manusia adalah sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, yang melakat pada diri
manusia, bersifat kodrati, universal dan abadi berkaitan dengan harkat dan
martabat manusia. Pada saatnya, hak-hak dasar atao hak-hak pokok yang dibawa
manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, dimana hak-hak asasi
ini menjadi dasar daripada hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang lain.
Umumnya,
kita, masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam (sebagai akibat pola
pendidikan ala barat yang dikembangkan semenjak jaman penjajahan Belanda dan
diteruskan oleh bangsa kita pasca proklamasi kemerdekaan hingga kini) itu
mengenal konsepsi HAM yang berasal dari
barat. Bangsa kita mengenal itu bermula dari dari sebuah naskah Magna Charta
pada tahun 1215 di Inggris dan yang kini berlaku secara universal mengacu pada
Deklarasi Universal HAM (DUHAM), yang diproklamasikan oleh PBB pada tanggal 10
Desember 1948.
Padahal
kalau kita mau mempelajari dan tahu betul serta mengacu pada sejarah,
sebenarnya sejak Nabi Muhammad SAW memperoleh kenabiannya (abad ke-7 Masehi
atau sekitar lima ratus tahun sebelum sebelum Magna Charta lahir) sudah
dikenalkan HAM serta dilaksanakan dan ditegakkanya HAM dalam Islam. Atas dasar
ini, tidaklah berlebihan jika kiranya konsepsi HAM dalam Islam telah lebih dulu
lahir sebelum Magna Charta (HAM versi barat). Bahkan secara kumulatif, konsepsi
HAM dalam Islam itu lebih lengkap daripada konsepsi HAM universal.
Pertanyaan adakah ham dalam Islam harus
dirunut secara sejarah dialektika HAM dalam Islam. Menurut Anas Urbaningrum hak
asasi manusia atau lebih dikenal manusia modern sebagai HAM, telah lebih dahulu
diwacanakan oleh Islam sejak empat belas abad silam. Hal ini memberi kepastian
bahwa pandangan Islam yang khas tentang HAM sebenarnya telah hadir sebelum
deklarasi universal HAM PBB pada 18 Shafar 1369 Hijriyah atau bertepatan dengan
10 Desember 1948 Masehi (Anas, 2004;91). Secara internasional umat Islam yang
terlembagakan dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada 5 Agustus 1990
mengeluarkan deklarasi tentang HAM dari perspektif Islam. Deklarasi yang juga
dikenal sebagai “Deklarasi Kairo” mengandung prinsip dan ketentuan tentang HAM
berdasarkan syari’ah (Azra).
HAM dalam Islam telah dibicarakan sejak empat
belas tahun yang lalu (Anas Urbaningrum, 2004;91). Ini dibuktikan oleh adanya
Piagam Madinah (mitsaq Al-Madinah) yang terjadi pada saat Nabi Muhammad
berhijrah ke kota Madinah. Dalam Dokumen Madinah atau Piagam Madinah itu
berisi antara lain pengakuan dan penegasan bahwa semua kelompok di kota Nabi
itu, baik umat yahudi, umat nasrani maupun umat Islam sendiri, adalah merupakan
satu bangsa (Idris, 2004;102). Dari pengakuan terhadap semua pihak untuk
bekerja sama sebagai satu bangsa, didalam piagam itu terdapat pengakuan
mengenai HAM bagi masing-masing pihak yang bersepakat dalam piagam itu. Secara
langsung dapat kita lihat bahwa dalam piagam madinah itu HAM sudah mendapatkan
pengkuan oleh Islam
Memang, terdapat prinsip-prinsip HAM yang
universal; sama dengan adanya perspektif Islam universal tentang HAM (huqul
al-insan), yang dalam banyak hal kompatibel dengan Deklarasi Universal HAM
(DUHAM). Tetapi juga harus diakui, terdapat upaya-upaya di kalangan sarjana
Muslim dan negara Islam di Timur Tengah untuk lebih mengkontekstualisasikan
DUHAM dengan interpretasi tertentu dalam Islam dan bahkan dengan lingkungan
sosial dan budaya masyarakat-masyarakat Muslim tertentu pula.
Islam sebagai agama universal membuka wacana
signifikan bagi HAM. tema-tema HAM dalam Islam, sesungguhnya merupakan tema
yang senantiasa muncul, terutama jika dikaitkan dengan sejarah panjang
penegakan agama Islam. Menurut Syekh Syaukat Hussain yang diambil dari bukunya
Anas Urbaningrum, HAM dikategotrikan dalam dua klasifikasi. Pertama, HAM yang
didasarkan oleh Islam bagi seseorang sebagai manusia. Dan kedua, HAM yang
diserahkan kepada seseorang atau kelompok tertentu yang berbeda. Contohnya
seperti hak-hak khusus bagi non-muslim, kaum wanita, buruh, anak-anak dan
sebagainya, merupakan kategori yang kedua ini (Anas, 2004;92).
Berdasarkan temuan diatas akan kita coba
mencari kesamaan atau kompatibilitas antara HAM yang terkandung dalam Islam.
Akan kita coba membagi hak asasi manusia secara klasifikasi hak negatif dan hak
positif. Dalam hal ini hak negatif yang dimaksud adalah hak yang memberian
kebebasan kepada setiap individu dalam pemenuhannya.
Yang pertama adalah hak negatif yaitu
memberikan kebebasan kepada menusia dalam pemenuhannya. Bebrapa yang dapat kita
ambil sebagai contoh yaitu:
Hak atas hidup, dan menghargai hidup manusia.
Islam menegaskan bahwa pembunuhan terhadap seorang manusia ibarat membunuh
seluruh umat manusia. Hak ini terkandung dalam surah Al-Maidah ayat 63 yang
berbunyi :
Oleh karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi bani israil,
bahwa: barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu
(membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka
seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang
memlihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara
kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka
rasul-rasul Kami dengan (membawa) keternagan-keterangan yang jelas, kemudian
banyak diantar amereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam
berbuat kerusakan dimuka bumi. (QS 5;63)
Hak untuk mendapat perlindungan dari hukuman
yang sewenarg wenang. yaitu dalam surat Al An’am : 164 dan surat Fathir 18 yang
masing masing berbunyi :
Katakanlah: “Apakah aku mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia
adalah tuhan bagi segala sesuatu. Dan tidaklah sesorang membuat dosa melainkan
kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak
akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan
diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan”. (QS 6;164)
Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan
jika sesorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya
itu tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikit pun meskipun (yang dipanggilnya
itu) kaum kerabatnya. Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan hanya
orang-orang yang takut kepada azab Tuhannya (sekalipun) mereka tidak
melihat-Nya dan mereka mendirikan sembahyang. Dan barangsiapa yang mensucikan
dirinya, sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan
kepada Allah-lah kembali(mu). (QS 35;18)
Hak atas keamanan dan kemerdekaan pribadi
terdapat dalam surat An Nisa ayat 58 dan surat Al-Hujurat : 6 yang berbunyi
seperti ini:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum
diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat. (QS 4;58)
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang yang
fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaanya yang
menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (QS 49;6)
Hak atas kebebasan beragama memilih keyakinan
berdasar hati nurani. Yang bisa kita lihat secara tersirat dalam surat Al
Baqarah ayat 256 dan surat Al Ankabut ayat 46 yang berbunyi:
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya
telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa
yang ingkar kepada yang thagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia
telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS 2;256)
Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan
cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zhalim di antara mereka, dan
katakanlah: “kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada
kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami
hanya kepada-Nya berserah diri”. (QS 29;46)
Hak atas persamaan hak didepan hukum secara
tersirat terdapat dalam surat An-Nisa ayat 1 dan 135 dan Al Hujurat ayat13:
Hai sekalian manusia bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciotakan dari diri yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya;
dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang
banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu
saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah)hubungan silaturahim.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS 4;1)
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang
benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap
dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin,
maka Allah lebih tau kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan
(kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha
Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. (QS 4;135)
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjdaikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS 49;13)
Dalam hal kebebasan berserikat Islam juga
memberikan dalam surat Ali Imran ayat 104-105 yang berbunyi:
Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar ;
merekalah orang yang beruntung. (QS 3;104)
Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai berai
dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka
itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat. (QS 3;105)
Dalam memberikan suatu protes terhadap pemerintahan
yang zhalim dan bersifat tiran. Islam memberikan hak untuk memprotes
pemerintahan yang zhalim, secara tersirat dapat diambil dari surat An-Nisa ayat
148, surat Al Maidah 78-79, surat Al A’raf ayat 165, Surat Ali Imran ayat 110
yang masing masing berbunyi:
Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus
terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui. (QS 4;148)
Telah dila’nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan
Daud dan ‘Isa Putera Maryam. Yang demikian itu. Disebabkan mereka durhaka dan
selalu melampaui batas. (QS 5;78)
Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan yang munkar
yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat
itu. (QS 5;79)
Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada
mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami
timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka
selalu berbuat fasik. (QS 7;165)
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada
Allah. Sekiranya Ahli Kitab Beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka;
diantara mereka yang ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang
yang fasik. (QS 3;110)
Dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya seperti
bentuk hak positif dalam hak ekonomi sosial dan Islam pun mengandung secara
tersirat mengenai hak ini.
Hak mendapatkan kebutuhan dasar hidup manusia
secara tersirat terdapat dalam surat Al Baqarah ayat 29, surat Ad-Dzariyat ayat
19, surat Al Jumu’ah ayat 10, yang berbunyi:
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada dimuka bumi untuk
kamu dan Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan
Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS 2;29)
Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang
meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian. (QS 51;19)
Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di
muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya
kamu beruntung. (QS 62;10)
Dalam hak mendapatkan pendidikan Islam juga
memiliki pengaturan secara tersirat dalam surat Yunus ayat 101, surat Al-Alaq
ayat 1-5, surat Al Mujadilah ayat 11 dan surat Az-Zumar ayat 9 yang
masing-masing berbunyi berbunyi:
Katakanlah: “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi.
Tidaklah bermanfa’at tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi
peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman”. (QS 10;101)
Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu:
“berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah. Niscaya Allah akan
memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan:berdirilah kamu, maka
berdirilah kamu, niscaya Allah akan meninggikan orang orang yang beriman
diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS 58;11)
(apakah kamu hai orang yang musyrik) ataukah orang-orang yang
beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada
(azab) akhrat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “adakah sama
orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”.
Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.
2. DEMOKRASI
Isitilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di
Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh
awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun,
arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern
telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem
“demokrasi” di banyak negara.
Kata “Demokrasi”
berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang
berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat,
atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan
untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam
bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini
disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan rakyat) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
Semenjak
kemerdekaan 17 Agustus 1945, Undang-Undang Dasar 1945 memberikan penggambaran
bahwa Indonesia adalah negara demokrasi. Dalam mekanisme kepemimpinannya
Presiden harus bertanggung jawab kepada MPR dimana MPR adalah sebuah badan yang
dipilih dari Rakyat. Sehingga secara hirarki seharusnya rakyat adalah pemegang
kepemimpinan negara melalui mekanisme perwakilan yang dipilih dalam pemilu.
Indonesia sempat mengalami masa demokrasi singkat pada tahun 1956 ketika untuk
pertama kalinya diselenggarakan pemilu bebas di indonesia, sampai kemudian
Presiden Soekarno menyatakan demokrasi terpimpin sebagai pilihan sistem
pemerintahan. Setelah mengalami masa Demokrasi Pancasila, sebuah demokrasi semu
yang diciptakan untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto, Indonesia kembali masuk
kedalam alam demokrasi pada tahun 1998 ketika pemerintahan junta militer
Soeharto tumbang. Pemilu demokratis kedua bagi Indonesia terselenggara pada
tahun 1999 yang menempatkan Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan sebagai
pemenang Pemilu.
Secara etimologis,
musyawarah berasal dari kata “syawara” yang pada mulanya bermakna mengeluarkan
madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian berkembang, sehingga mencakup segala
sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain, termasuk pendapat.
Musyawarah dapat juga berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu. Kata
musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan
dengan makna dasarnya.
Karena kata
musyawarah adalah bentuk mashdar dari kata kerja syawara yang dari segi
jenisnya termasuk kata kerja mufa’alah (perbuatan yang dilakukan timbal balik),
maka musyawarah haruslah bersifat dialogis, bukan monologis. Semua anggota
musyawarah bebas mengemukakan pendapatnya. Dengan kebebasan berdialog itulah
diharapkan dapat diketahui kelemahan pendapat yang dikemukakan, sehingga
keputusan yang dihasilkan tidak lagi mengandung kelemahan.
Musyawarah atau
syura adalah sesuatu yang sangat penting guna menciptakan peraturan di dalam
masyarakat mana pun. Setiap negara maju yang menginginkan keamanan,
ketentraman, kebahagiaan dan kesuksesan bagi rakyatnya, tetap memegang prinsip
musyawarah ini. Tidak aneh jika Islam sangat memperhatikan dasar musyawarah
ini. Islam menamakan salah satu surat Al-Qur’an dengan Asy-Syura, di dalamnya
dibicarakan tentang sifat-sifat kaum mukminin, antara lain, bahwa kehidupan
mereka itu berdasarkan atas musyawarah, bahkan segala urusan mereka diputuskan
berdasarkan musyawarah di antara mereka. Sesuatu hal yang menunjukkan betapa
pentingnya musyawarah adalah, bahwa ayat tentang musyawarah itu dihubungkan
dengan kewajiban shalat dan menjauhi perbuatan keji.
Allah SWT berfirman
dalam Al-Qur’an Surat Asy-Syura 42: 37-38 : “Dan (bagi) orang-orang yang
menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji, dan apabila mereka marah, mereka
memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan-Nya
dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah
antar mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan
kepada mereka.”
Dalam ayat di atas, syura atau musyawarah sebagai sifat ketiga bagi masyarakat Islam dituturkan sesudah iman dan shalat. Menurut Taufiq asy-Syawi, hal ini memberi pengertian bahwa musyawarah mempunyai martabat sesudah ibadah terpenting, yaitu shalat, sekaligus memberikan pengertian bahwa musyawarah merupakan salah satu ibadah yang tingkatannya sama dengan shalat dan zakat. Maka masyarakat yang mengabaikannya dianggap sebagai masyarakat yang tidak menetapi salah satu ibadah. ‘Abdul KarÄ«m Zaidan menyebutkan bahwa musyawarah adalah hak ummat dan kewajiban imam atau pemimpin. Dalilnya adalah firman Allah SWT yang memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk bermusyawarah dengan para sahabat.
“Maka disebabkan
rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu
bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka
dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu
telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Ali ‘Imran 3: 159)
Ayat di atas turun
dalam konteks Perang Uhud, di mana pasukan Islam nyaris mengalami kehancuran
gara-gara pasukan pemanah yang ditempatkan Nabi di atas bukit tidak disiplin menjaga posnya. Akibatnya posisi strategis itu
dikuasai musuh dan dari sana mereka balik menyerang pasukan Islam. Namun
demikian Nabi tetap bersikap lemah-lembut dan tidak bersikap kasar kepada
mereka.
Sebenarnya sebelum
perang Uhud Nabi sudah bermusyawarah terlebih dahulu dengan para sahabat
tentang bagaimana menghadapi musuh yang akan datang menyerang dari Mekkah,
apakah ditunggu di dalam kota atau disongsong ke luar kota. Musyawarah akhirnya
memilih pendapat yang kedua. Dengan demikian, perintah bermusyawarah kepada
Nabi ini dapat kita baca sebagai perintah untuk tetap melakukan musyawarah
dengan para sahabat dalam masalah-masalah yang memang perlu diputuskan bersama.
Mengomentari perintah
musyawarah kepada Nabi dalam ayat di atas Muhammad Abdul Qadir Abu Faris
menyatakan: “Jika Rasulullah SAW yang ma’shum dan mendapatkan penguat wahyu,
sampai tidak pernah berbicara dengan nafsu telah diperintahkan dan diwajibkan
oleh Allah SWT agar bermusyawarah dengan para sahabatnya, sudah tentu, bagi
para hakim dan umara, musyawarah sangatlah ditekankan”.
Bahkan Rasulullah
SAW yang memiliki kedudukan yang sangat mulia itu banyak melakukan musyawarah
dengan para sahabat beliau seperti tatkala mencari posisi yang strategis dalam
perang Badar, sebelum perang Uhud untuk menentukan apakah akan bertahan di
dalam kota atau di luar kota, tatkala Nabi berencana untuk berdamai dengan
panglima perang Ghathafan dalam perang Khandaq, dan kesempatan lainnya.
Memang, musyawarah
sangat diperlukan untuk dapat mengambil keputusan yang paling baik di samping
untuk memperkokoh persatuan dan rasa tanggung jawab bersama. ‘Ali ibn AbÄ«
Thalib menyebutkan bahwa dalam musyawarah terdapat tujuh hal penting yaitu
mengambil kesimpulan yang benar, mencari pendapat, menjaga kekeliruan,
menghindarkan celaan, menciptakan stabilitas emosi, keterpaduan hati.
PANDANGAN DAN PERMASALAHAN
Kita hidup di dunia ini tak akan pernah lepas dari kejaran masalah-masalah, baik itu masalah pribadi maupun masalah yang menyangkut kesejahteraan rakyat. Sebagai makhluk sosial, kita tak akan bisa hidup tanpa orang lain yang membantu kita, karena kita diciptakan oleh Allah SWT berpasang-pasangan dan diwajibkan untuk saling membantu serta saling melengkapi. Kenapa kita harus saling melengakpi dalam hidup ini? Karena manusia itu kan tidak ada yang sempurna, oleh karena itu kita harus saling melengkapi agar ketika kita ditimpa musibah, kita dapat menyelesaikannya bersama.
Demokrasi saat ini
sudah banyak diperbincangkan bahkan diagung-agungkan yang katanya sebagai
solusi dari suatu permasalahan. Katanya sich, demokrasi itu sebuah kebebasan
berpendapat setiap individu. Tapi pendapat yang bagaimana nich…! menurut
pengetahuan yang saya dapat, memang benar demokrasi itu sebuah kebebasan setiap
individu, meskipun individu tersebut orang awam artinya orang tersebut tidak
mengerti masalah yang sedang dihadapi, dan dia seakan-akan dipaksa untuk
memberikan pendapatnya, secara otomatis pasti dia memberikan pendapat sesuka
hatinya, meskipun pendapatnya itu bertentangan dengan agama. Kalo udah kayak
gitu, apakah demokrasi itu sejalan dengan ajaran agama kita yakni agama Islam?
Dan apakah demokrasi akan membawa kejayaan untuk Islam?
Pemungutan suara
atau biasa disebut dengan voting sering digunakan oleh lembaga-lembaga atau
organisasi-organisasi baik dalam sebuah negara maupun dalam sebuah perkumpulan
biasa, di dalam mengambil sebuah sikap atau dalam memilih seorang pimpinan dan
lain-lain. Cara ini sudah menjadi sesuatu yang gak asing lagi di mata kita,
karena semua permasalahan diselesaikan dengan cara mengambil suara mayoritas
atau dengan pemungutan suara itu. Dengan pemungutan suara secara otomatis siapa
saja / masyarakat umum bisa dilibatkan di sini. Padahal kan banyak diantara
masyarakat itu gak tau. Dan dalam memilih seorang pemimpin umat pun cara itulah
yang digunakan, walaupun orang itu tidak tahu apa dan bagaimana kriteria
seorang pemimpin umat menurut konsep Islam.
Pemungutan suara
atau voting boleh digunakan dalam pengambilan sebuah sikap atau keputusan, tapi
tidak untuk menentukan pemimpin umat. Sebab, ini menyangkut kehidupan berbangsa
dan bernegara yang cakupannya sangat luas. Kenapa saya menganggap voting itu
dibolehkan dalam pengambilan sebuah keputusan atau sikap? Karena pada zaman
Nabi Muhammad SAW banyak sekali bentuk praktek voting di zaman nabi Muhammad
SAW, yang intinya memang menggunakan jumlah suara sebagai penentu dalam
pengambilan keputusan.
Misalnya, ketika
musyawarah menentukan sikap dalam menghadapi perang Uhud. Sebagian kecil
shahabat punya pendapat sebaiknya bertahan di Madinah, namun kebanyakan
shahabat, terutama yang muda-muda dan belum sempat ikut dalam perang Badar
sebelumnya, cenderung ingin menyongsong lawan di medan terbuka. Maka Rasulullah
SAW pun ikut pendapat mayoritas, meski beliau sendiri tidak termasuk yang
mendukungnya.
Sebelumnya dalam
perang Badar, juga Rasulullah SAW memutuskan untuk mengambil suara terbanyak,
tentang masalah tawanan perang. Umumnya pendapat menginginkan tawanan perang,
bukan membunuhnya. Hanya Umar bin Al-Khattab saja berpendapat bahwa tidak layak
umat Islam minta tebusan tawanan, sementara perang masih berlangsung. Tetapi,
kesemuanya itu tetap dilakukan dengan cara musyawarah terlebih dahulu, tidak
seenaknya menentukan keputusan.
Setelah kita
melihat contoh-contoh pada zaman Rasulullah SAW, menggunakan voting sebagai
pemutusan sebuah sikap, tetapi bukan untuk menentukan seorang pemimpin umat.
Apa yang terjadi di Negara kita? Negara ini menggunakan voting sebagai penentu
untuk menentukan siapa pemimpin Negara, Daerah, dll. Jadi, voting hanya boleh
dipakai untuk menentukan sikap atau keputusan yang tidak bersinggungan dengan
syariah (aqidah).
Arti dari
Pemungutan suara (PEMILU) itu sendiri adalah pemilihan pemimpin dengan cara
mencatat nama yang dipilih atau dengan mencoblos salah satu calon yang
diinginkan (disuka) atau dengan kata lain voting. Pemungutan suara ini,
meskipun memiliki arti: pemberian hak pilih, tapi gak perlu digunakan dalam
pemilihan pemimpin, apalagi ini dalam menentukan pemimpin umat yang cakupannya
lebih besar, bahkan besar banget!!
Cara itulah yang
digunakan oleh negara demokrasi seperti Indonesia. Dengan pemungutan suara
(demokrasi) menentukan seorang pemimpin dengan pelaksanaannya yang dinamakan
dengan PEMILU (Pemilihan Umum), seperti yang telah dijelaskan di atas. Dengan
pemilu, seluruh rakyat memilih calon pemimpin negara (yang dikasih nama
Presiden itu). Jadi, seluruh warga baik yang awam maupun yang cerdas atau yang
berpendidikan, berhak menentukan pemimpinnya yang nantinya dia yang menjalankan
roda pemerintahan di negara tersebut. Kekuasaan / kedaulatan itu semuanya
berada di tangan rakyat secara mutlak.
Dengan cara dan
praktek kayak gini bisa aja seorang yang gak layak menjadi pemimpin (Pemabuk,
Koruptor, Pemerkosa, dll) keluar menjadi pemenangnya, terus gimana nasib negara
ini kalo yang jadi pemimpin itu pemabuk, koruptor, pemerkosa, dll. Adapun yang
pantas dan berhak menjadi pemimpin malah tersingkir atau malahan gak dipandang
sama sekali !
Sedangkan dalam
Islam metode pemungutan suara ini tidak dibenarkan (penentuan seorang pemimpin
ummat), yang digunakan adalah metode musyawarah (syuro) dan mengajarkan bahwa
kedaulatan itu bukan berada di tangan manusia, tetapi berada di tangan Allah
SWT dan Rasul-Nya dan berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Hadits. Allah SWT
pun berfirman:
Surat Al-Ahzab: 36
yang artinya: “Dan tidaklah patut laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan
barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya maka sungguh di telah sesat, sesat
yang nyata.”
Surat An-Nisaa: 58
yang artinya: “Sesungguhnya Allah SWT menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan menyuruh kamu menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkannya dengan adil”.
Surat An-Nisaa itu
pun menjelaskan bahwa dalam menentukan pemimpin atau memberi amanat itu hanya
kepada yang mampu menerima dan melaksanakan amanat tersebut, artinya dia mampu
dan termasuk dalam kriteria seorang pemimpin yang dimaksudkan Islam tadi. Kepemimpinan adalah sebuah amanat yang sangat agung, yang
menyangkut tentang seluk-beluk kehidupan manusia. Oleh karena itu amanat ini
harus diserahkan kepada yang berhak menerimanya menurut pandangan syari’at.
Proses pemungutan suara bukanlah cara yang tepat untuk penyerahan amanat
tersebut. Karena cara itu tidak bisa menjamin kalo amanat itu tersampaikan
kepada yang berhak. Bahkan di lapangan pun telah terbukti kalo yang menerima
amanat itu bukan orang-orang yang berhak menerimanya, misalnya saja seorang
pemimpin yang selalu ragu-ragu dalam mengambil sebuah kebijakan, sebab di dalam
Islam itu seorang pemimpin itu harus tegas dalam menentukan kebijakan atau
keputusan-keputusan; dan bisa saja pemimpin tersebut adalah seorang KORUPTOR.
Pemimpin Negara
(Kepala Negara), menurut Al-Baqillani, harus berilmu pengetahuan yang luas,
karena ia memerlukan para hakim yang berlaku adil. Dengan ilmunya itu ia dapat
mengetahui apakah putusan hakim sesuai dengan ketentuan hukum atau tidak dan
apakah sesuai dengan asas keadilan. Syarat lain, kepala negara harus bertindak
adil dalam segala urusan, berani dalam peperangan, dan bijaksana dalam
mengorganisir militer yang bertugas melindungi rakyat dari gangguan musuh. Dan
dalam segala tindakannya itu harus bertujuan untuk melaksanakan “Syari’at
Islam”. Artinya dalam mengatur kepentingan umat harus sesuai dengan “Syari’at
Islam”. Tidak berbeda dari Al-Baqillani,
Al-Baghdadi menyatakan: “Kelompok kami berpendirian bahwa orang yang berhak
memegang jabatan khalifah (Pemimpin Negara) harus memiliki kualitas berikut: 1)
berilmu pengetahuan, minimal untuk mengetahui apakah undang-undang yang dibuat
para mujtahid sah menurut hukum agama dan peraturan-peraturan lainnya; 2)
bersifat jujur dan saleh; 3) bertindak adil dalam menjalankan segala tugas
pemerintahan dan berkemampuan”.
Jadi, sudah jelas
dari kedua kelompok di atas tadi menjelaskan bahwa syarat menjadi seorang
pemimpin negara itu adalah harus orang yang memiliki ilmu pengetahuan,
minimalnya dia harus tahu apakah undang-undang yang dibuatnya tidak keluar dari
batas-batas hukum agama Islam yang berpedoman kepada Al-Qur’an dan Hadits. Kita
lihat di Indonesia, apakah undang-undang kita masih dalam batas-batas yang
telah dibatasi oleh pedoman agama kita yakni Al-Qur’an dan Hadits? Menurut kaca
mata saya, undang-undang yang diterapkan di negara ini sudah melenceng dari
Al-Qur’an dan Hadits, contohnya saja penjualan minuman keras masih merajalela
bahkan dibiarkan beroperasi. Dan yang lebih parah lagi, pemilihan seorang
pemimpin (kepala negara) dilaksanakan dengan cara pemungutan suara, padahal
Islam tidak mengajarkan seperti itu. justru islam mengajarkan bahwa dalam
penentuan seorang pemimpin itu dilaksanakan dengan cara bermusyawarah.
Sebenarnya bukan keluar dari Al-Qur’an dan Hadits saja, demokrasi pun sudah
tidak sesuai lagi dengan pedoman hidup negara kita yakni Pancasila. Seperti
yang tercantum dalam sila ke 4 : “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah,
kebijaksanaan dalam permusyawaratan, perwakilan”. Disini dikatakan bahwa
“kebijaksanaan dalam permusyawaratan” bukanlah “kebijaksanaan dalam demokrasi”.
Jadi, jelas sekali ternyata demokrasi bukan hanya tidak sesuai dengan pedoman
agama kita (Al-Qur’an dan Hadits), tetapi dengan Pancasila pun sudah tidak
sesuai.
Sebenarnya
Pancasila yang ada di negara kita ini sudah benar, sebab isi silanya itu
merupakan isi yang sesuai dengan ajaran agama Islam, isinya itu tidak keluar
dari pagar pembatas Al-Qur’an dan Hadits.
Kalo dalam demokrasi itu sich nash-nash syari’at dan hukum-hukum Allah itu gak dianggap, tapi yang dianggap dan dijadikan acuan dalam demokrasi ini adalah “Hukum Rakyat”. Jadi rakyat adalah sumber hukum dalam setiap permasalahan ummat. Oleh karena itu, orang-orang mendefinisikan demokrasi itu dalam undang-undang dengan sebutannya “Kedaulatan sepenuhnya berada di tangan Rakyat”, sehingga demokrasi bisa disebut dengan nama hukum mayoritas rakyat (suara terbanyak).
Kalo dalam demokrasi itu sich nash-nash syari’at dan hukum-hukum Allah itu gak dianggap, tapi yang dianggap dan dijadikan acuan dalam demokrasi ini adalah “Hukum Rakyat”. Jadi rakyat adalah sumber hukum dalam setiap permasalahan ummat. Oleh karena itu, orang-orang mendefinisikan demokrasi itu dalam undang-undang dengan sebutannya “Kedaulatan sepenuhnya berada di tangan Rakyat”, sehingga demokrasi bisa disebut dengan nama hukum mayoritas rakyat (suara terbanyak).
Di dalam Islam
dalam menentukan seorang pemimpin ummat tidak menggunakan demokrasi (suara
mayoritas), tapi Islam menyelesaikan masalah ummat atau bahkan menentukan
pemimpin umat itu dengan cara Musyawarah (Syuro). Jadi setiap permasalahan yang
ada, diselesaikan dengan Musyawarah. Kan musyawarah itu didefinisikan dengan
mengeluarkan pendapat setiap anggota musyawarah itu. Nanti dulu donk? Kita selidiki dulu, siapa yang berhak
mengeluarkan pendapat itu? Dan anggota musyawarah itu, siapa? Nah, yang berada
di Majelis Syuro itu adalah ahl al-hall wa al-‘aqd dan ahl al-ikhtiyar, yang
artinya “orang yang berkompeten untuk melepas dan mengikat”. Nah, sekarang udah
jelas nich, siapa yang berada di Majelis Syuro itu, yakni orang-orang yang
berkompeten di bidangnya masing-masing, seperti Ulama, Kepala Negara, dan para
pemuka masyarakat yang berusaha mewujudkan kemaslahatan rakyat. Kalo gitu,
Islam tidak mengenal yang namanya Hak Asasi Manusia (HAM) donk?
Jangan salah, Islam
mengenal yang namanya HAM, lihat salah satu anggota musyawarah di atas, ”Para
Pemuka Masyarakat”. Nah, sebelum ada para pemuka masyarakat itu, dia meminta
pendapat masyarakatnya terlebih dahulu, dan selanjutnya ditampung oleh tokoh
masyarakat itu dan disampaikan di Majelis Syuro itu. Kenapa hanya Tokoh
Masyarakat saja yang dibawa ke majelis syuro? Karena pada dasarnya manusia itu
gak semuanya berkompeten.
Dan menurut teori
Mc. Gregor, jika manusia diberi kebebasan, mereka akan melakukannya menurut
cara mereka sendiri / sesuaka hati meskipun itu melanggar peraturan. Jadi, di
dalam Islam yang berada di dalam majelis Syuro adalah para wakil rakyat. Ada yang mengatakan bahwa pemungutan suara adalah bagian dari
musyawarah. Tentu saja amat berbeda jauh antara Musyawarah mufakat menurut
Islam dengan pemungutan suara ala Demokrasi, yakni perbedaan itu diantaranya
1. Dalam musyawarah
mufakat, keputusna ditentukan oleh dalil-dalil walaupun suaranya minoritas
2. Anggota musyawarah adalah ahli ilmu (ulama) dan orang-orang shalih, adapun di dalam pemungutan suara anggotanya bebas siapa saja
2. Anggota musyawarah adalah ahli ilmu (ulama) dan orang-orang shalih, adapun di dalam pemungutan suara anggotanya bebas siapa saja
3. Musyawarah hanya perlu
dilakukan jika tidak ada dalil yang jelas dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Adapun
dalam pemungutan suara, walaupun sudah ada dalil yang jelas seterang matahari,
tetap saja dilakukan karena yangberkuasa adalah suara terbanyak, bukan
Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Mengenai
masalah para wakil rakyat, Islam punya kriteria tersendiri bagi orang-orang
yang duduk di Majelis Syuro. Ada tiga syarat, yaitu:
1. Sifat adil terhadap
siapa saja dan senantiasa memelihara wibawa dan nama bik;
2. Mempunyai pengetahuan
yang memadai tentang seluk-beluk negara (ketatanegaraan) sehingga mampu
menentukan pilihan dengan membedakan siapa yang paling berhak untuk diangkat
menjadi Imam (Kepala Negara); dan
3. Wawasan luas dan
kebijaksanaan sehingga mampu menilai berbagai alternatif serta memilih yang
terbaik untuk umat sesuai dengna kemaslahatannya dan menjauhkan yang dapat
membahayakannya.
Dan disamping hal
tersebut juga perlu diperhatikan bahwa ia juga harus senantiasa memperhatikan
tradisi yang ada di masyarakat itu sendiri. Jadi, para wakil rakyat harus
memperhatikan tradisi atau budaya yang terdapat dalam masyarakat yang sedang
diwakili oleh wakil rakyat itu. Dengan adanya ketiga syarat itu, diharapkan
para wakil rakyat itu akan dapat mewakili kamuan dan kehendak rakyat yang
diwakilinya.
Pada buku yang saya
baca dengan judul “Demokrasi Sejalan dengan Islam?”, saya setuju dengan apa
yang dikatakan di dalam buku ini, mengenai perbedaan demokrasi dengan syuro
yang diibaratkan bagaikan langit dan bumi, yang perbedaannya itu, ialah:
v Syuro adalah
aturan dan manhaj rabbaniy, sedangkan demokrasi adalah hasil karya manusia yang
serba kekurangan yang selalu diombang-ambing oleh hawa nafsu dan emosi.
v Syuro adalah
bagian dari syarai’at Allah SWT, dien-Nya dan hukum-Nya, sedangkan demokrasi
adalah penentangan terhadap hukum Allah SWT.
v Syuro dilakukan
dalam masalah yang tidak ada nash di dalamnya, adapun dalam masalah yang sudah
ada nashya maka tidak ada syuro.
Jadi, di point ke
tiga disebutkan bahwa syuro itu sendiri digunakan jika dalam suatu masalah itu
tidak ada nash di dalamnya, baru diadakan syuro. Dan orang-orang yang berada di
dalamnya itu pun harus orang-orang yang berkompeten di bidangnya. Dan jika
masalah itu sudah ada nash nya, maka syuro itu pun tidak berlaku. Jadi,
penyelesaiannya itu dengan cara mengikuti hukum yang udah diturunkan oleh Allah
SWT yakni Al-Qur’an dan Hadits. Karena yang menentukan hukum itu bukanlah
manusia, tetapi manusia lah yang wajib mentaati aturan yang diturunkan oleh
Allah SWT, Rasul-Nya dan kemudian kepada pemimpin kaum muslimin.
KESIMPULAN
Yang namanya negara itu pasti memerlukan seorang pemimpin, karena tanpa adanya seorang pemimpin, maka akan dibawa kemana negara ini. Setiap pemimpin negara itu pasti memiliki tujuan masing-masing, dimana tujuan itu tidak lain yaitu ingin mencapai sebuah kesejahteraan untuk rakyatnya. Apakah dengan demokrasi, tujuan negara ini akan terwujud? Dan apakah dengan sembarang pilih pemimpin, tujuan negara akan terwujud?
Untuk menentukan
seorang pemimpin terutama pemimpin ummat dan negara itu jangan sembarangan untuk
memilihnya, karena jika kita salah pilih, maka akibatnya akan fatal yang akan
berdampak kepada rakyat dan negara itu sendiri. Apakah kita mau dijajah
kembali, oleh ‘Belanda’ misalnya?. Tentu tidak, kan? Oleh karena itu mari kita
mulai perubahan ini dimulai dari diri kita sendiri, karena hanya kita yang
dapat membuat sebuah perubahan itu untuk negara ini.
Mungkin kita pun
bingung, bagaimana cara merubahnya? Jika saya harus merubah sistem demokrasi,
itu sangat tidak mungkin, karena apa? Karena saya hanyalah seorang Mahasiswa
yang tidak mampu untuk melakukan itu, saya tidak punya wewenang dan saya tidak
punya kemampuan untuk melakukannya, saya hanya Mahasiswa ‘ecek-ecek’,
hehe…..hehe…
Setiap ideologi
yang ada di setiap negara itu pasti memiliki tujuan yang baik, tetapi tak dapat
dipungkiri juga, bahwa kemampuan manusia itu sangat terbatas. Terus, apa
sebenarnya yang harus kita rubah? Orangnya kah? Atau sistemnya yang kita
rubah?, yang sudah saya bilang tadi, bahwa sistem itu tidak mungkin saya rubah.
Menurut saya, mungkin dari orangnya tadi yang perlu kita rubah. Mulai dari yang
pertama, jika dalam PEMILU 2009 nanti, jangan sampai kita terpengaruh oleh
bujukan-bujukan setan yang hanya memberikan kenikmatan sesaat, misalnya jangan
sampai kita mudah untuk disogok oleh para oknum-oknum yang tidak
bertanggungjawab, sebab itu akan berakibat kepada negara dan kita sebagai
rakyatnya nanti. Kita harus berfikir ke depan, jangan hanya berfikir konsumtif
yang hanya memikirkan kejadian pada saat itu juga, tetapi kita harus berfikir
panjang. Bagaimana negara ini akan berubah, jika kita hanya mampu menerima
‘Uang Suap’ yang memberi kenikmatan sesaat kepada kita. Mari kita berfikir
panjang!!
Nah yang kedua,
kita dalam memilih seorang ‘pemimpin rakyat’, kita harus mampu mengenal calon
pemimpin kita terlebih dahulu. Jangan memilih presiden secara ‘subjektif’,
artinya kita memilih, jangan karena calon presiden itu sodara kita atau mungkin
calon presiden itu ‘ganteng’. Mari kita pilih pemimpin kita berdasarkan apa
yang dimiliki oleh calon tersebut.
Artinya, apakah
orang tersebut mampu memimpin negara dan rakyatnya kelak? Kita pilih
berdasarkan kriteria seorang pemimpin yang telah diberikan oleh Islam, yakni
apa yang telah dipaparkan oleh Al-Baghdadi, yang menyatakan: “Kelompok kami
berpendirian bahwa orang yang berhak memegang jabatan khalifah (Pemimpin
Negara) harus memiliki kualitas berikut: 1) berilmu pengetahuan, minimal untuk
mengetahui apakah undang-undang yang dibuat para mujtahid sah menurut hukum
agama dan peraturan-peraturan lainnya; 2) bersifat jujur dan saleh; 3)
bertindak adil dalam menjalankan segala tugas pemerintahan dan berkemampuan”.
Walaupun begitu
tetaplah syari’at islam yang nomor 1 (satu), hanya dengan syariat Islam, negara
ini akan merasakan kesejahteraan. Setelah saya berkicau kesana-kemari, walaupun
dari tadi gak ada yang mau ngalah, semuanya tetap pada pendiriannya
masing-masing dan saya juga tetap pada pendirian saya. Nah, akhirnya saya
memberi kesimpulan bahwasanya “Demokrasi itu tidak sejalan dengan Islam” yang
mana di dalam islam itu tidak ada demokrasi, tetapi yang ada hanyalah
musyawarah (syuro), untuk menentukan seorang pemimpin ummat khususnya.
Mari kita
bersama-sama untuk menerapkan kembali musyawarah yang sebenarnya sudah menjadi
pedoman hidup kita yakni yang terdapat dalam Pancasila, sila ke 4. Hanya dengan
bermusyawarah, kita akan mendapatkan sebuah jawaban yang mendekati kebenaran
bahkan kebenaran, karena kita bermusyawarah tidak hanya mengeluarkan pendapat
sesuka kita, tetapi musyawarah dalam Islam itu adalah berpendapat yang tidak
keluar dari Al-Qur’an dan Hadits.
Yang mana Al-Qur’an
adalah kitab suci yang diturunkan oleh Allah melalui Malaikat Jibril kepada
Nabi Muhammad SAW, yang isinya sudah tidak diragukan lagi dan isinya pun
mencakup segala seluk beluk kehidupan yang terdapat di dunia dan di akhirat.
Dan Hadits yakni ucapan-ucapan Nabi Muhammad SAW pada saat Baginda kita masih
hidup di dunia ini.
Ingat kawan!!
Ideologi Islam adalah yang terbaik daripada ideologi-ideologi yang terdapat di
dunia ini, karena ideologi Islam bukan manusia yang sengaja membuatnya, tetapi
Allah SWT yang menurunkannya dan diamanhkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk
meng-syiarkannya ke seluruh penjuru dunia. Jadi, jangan sekali-kali menyamakan
demokrasi dengan musyawarah (syuro) yang terdapat dalam Islam. Keduanya itu
memiliki perbedaan yang sangat jauh… sekali. Bagaikan langit dan bumi.
Sumber:
1. Al Qur’an dan
Hadist
0 komentar:
Posting Komentar